Saturday, November 24, 2007

MEKANISME AKSI HIDROKLOROTIAZID SEBAGAI DIURETIK

MAKALAH KIMIA MEDISINAL

MEKANISME AKSI HIDROKLOROTIAZID SEBAGAI DIURETIK



Disusun oleh :
Ines Septi A. (058114061)
Margarita Krishna S. (058114062)
Maria Corazon S. (058114065)
Maria Widiastuti Dwi (058114067)
Widya Adhitama (058114069)
Linna Ferawati G. (058114070)
Bernadetta Ayu W. (058114071)
Chrisye Dewi P. (058114072)



FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007



HIDROKLOROTIAZID

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian di seluruh dunia. Berbagai cara pengobatan telah ditempuh untuk mengobati penyakit ini, antara lain diuretik, penghambat simpatetik, beta bloker, vasodilator, penghambat Angiotensin Converting Enzim, penghambat reseptor Angiotensin II, dan antagonis kalsium. Sistem kardiovaskuler terdiri atas jantung dan pembuluh darah serta sistem sirkulasinya
Jantung memiliki peranan penting dalam penyediaan oksigen untuk seluruh tubuh dan membersihkan tubuh dari hasil metabolisme (karbondioksida). Organ ini melaksanakan fungsinya dengan mengumpulkan darah yang kekurangan oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya ke dalam paru-paru, dimana darah akan mengambil oksigen dan membuang karbondioksida. Jantung kemudian mengumpulkan darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan memompanya ke jaringan di seluruh tubuh. Dengan demikian jantung bertugas menjaga sirkulasi darah. Salah satu aspek yang penting dalam pengaturan sirkulasi darah adalah tekanan darah.
Ketidaknormalan tekanan darah dikelompokkan menjadi dua, yaitu hipertensi dan hipotensi. Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). Keadaan itu terjadi jika tekanan darah pada arteri utama didalam tubuh terlalu tinggi. Sedangkan hipotensi adalah keadaan dimana tekanan darah menurun secara abnormal.
Pengobatan hipertensi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pengobatan secara nonfarmakologis (non-obat) dan farmakologis (terapi dengan obat-obatan). Terapi tanpa obat dapat dilakukan antara lain dengan menurunkan berat badan, berolah raga, menghentikan kebiasaan merokok dan minum alkohol. Sedangkan pengobatan secara farmakologis dilakukan dengan terapi menggunakan obat-obatan seperti golongan diuretik (hidroklorotiazid, furosemid), beta bloker (propanolol), vasodilatasi (hidralasin), dll.
Pada kesempatan ini akan dibahas lebih dalam mengenai obat antihipertensi diuretik. Secara umum, diuretik adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih melalui kerja langsung terhadap ginjal (Rahardja dan Tjay, 2002). Salah satu obat diuretik yang menjadi pilihan di dalam peresepan untuk hipertensi ringan sampai sedang adalah Hidroklorotiazid (HCTZ). HCTZ merupakan derivat sulfonamid golongan benzothiazine (thiazid). Ditemukan tahun 1959, dalam penelitian penghambat karbonat anhidrase (ekskresi ion natrium dan klorida di dalam kemih) yang lebih poten. Efek diuretisnya lebih ringan dari diuretika lengkungan tetapi bertahan lebih lama, 6-12 jam sehingga daya hipotensifnya lebih kuat (jangka panjang).

(Rita, 05-062)
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam makalah adalah:
Bagaimana mekanisme aksi Hidroklorotiazid di dalam tubuh dalam menimbulkan efek sebagai diuretika?

C. BATASAN MASALAH
Dalam penelitian ini penulis memberi batasan pembahasan hanya pada mekanisme aksi Hidroklorotiazid, sehingga aksi langsung dari obat diuretika yang termasuk golongan lain tidak menjadi bahasan.

D. TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme aksi Hidroklorotiazid di dalam tubuh sehingga mampu menimbulkan efek sebagai diuretik.

E. TINJAUAN PUSTAKA
1. Sistem Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular terdiri dari:
a. Jantung
Pada saat berdenyut, setiap ruang jantung mengendur dan terisi darah (disebut diastol), selanjutnya jantung berkontraksi dan memompa darah keluar dari ruang jantung (disebut sistol). Kedua atrium mengendur dan berkontraksi secara bersamaan, dan kedua ventrikel juga mengendur dan berkontraksi secara bersamaan.
Darah yang kaya CO2 dari seluruh tubuh mengalir melalui vena kava menuju ke dalam atrium kanan. Setelah atrium kanan terisi darah, dia akan mendorong darah ke dalam ventrikel kanan. Darah dari ventrikel kanan akan dipompa melalui katup pulmoner ke dalam arteri pulmonalis, menuju ke paru-paru. Darah akan mengalir melalui kapiler yang mengelilingi alveolus, menyerap O2 dan melepaskan CO2 yang selanjutnya dihembuskan.
Darah yang kaya akan O2 mengalir di dalam vena pulmonalis menuju ke atrium kiri. Peredaran darah diantara bagian kanan jantung, paru-paru dan atrium kiri disebut sirkulasi pulmoner.
Darah dalam atrium kiri akan didorong ke dalam ventrikel kiri, yang selanjutnya akan memompa darah yang kaya akan O2 ini melewati katup aorta masuk ke dalam aorta. Darah kaya O2 ini disediakan untuk seluruh tubuh, kecuali paru-paru.
b. Pembuluh darah
Arteri membawa darah dari jantung dan menanggung tekanan darah yang paling tinggi. Kelenturannya membantu mempertahankan tekanan darah di antara denyut jantung. Arteri yang lebih kecil dan arteriola memiliki dinding berotot yang menyesuaikan diameternya untuk meningkatkan atau menurunkan aliran darah ke daerah tertentu.
Kapiler merupakan pembuluh darah yang halus dan berdinding sangat tipis, yang berfungsi sebagai jembatan antara arteri dan vena. Kapiler memungkinkan O2 dan zat makanan berpindah dari darah ke dalam jaringan dan memungkinkan hasil metabolisme berpindah dari jaringan ke dalam darah.
Dari kapiler, darah mengalir ke dalam venula lalu ke dalam vena, yang akan membawa darah kembali ke jantung. Vena memiliki dinding yang tipis, tetapi biasanya diameternya lebih besar daripada arteri, sehingga vena mengangkut darah dalam volume yang sama tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah dan tidak terlalu di bawah tekanan.

(Widia, 05-067)
2. Hipertensi
Hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu
a. hipertensi primer
Juga disebut hipertensi ‘esensial’ atau ‘idiopatik’ dan merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat, restensi vaskular perifer bertambah, atau keduanya. Pada hipertensi, curah jantung cenderung menurun dan resistensi perifer meningkat. Adanya hipertensi juga menyebabkan penebalan dinding arteri dan arteriol, mungkin sebagian diperantari oleh faktor yang dikenal sebagai pemicu hipertrofi vaskular dan vasokonstriksi (insulin, katekolamin, angiotensin, hormon pertumbuhan), sehingga menjadi alasan sekunder dari hipertensi yang sudah ada telah menyebabkan penelitian etiologi semakin sulit dan observasi ini terbuka untuk berbagai interpretasi.

b. hipertensi sekunder
hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan/ sebagai akibat dari adanya penyakit lain yaitu akibat penyakit jantung/ginjal, diabetes, atau tumor dari kelenjar adrenal, obat-obatan, maupun kehamilan.

(Bernadetta, 05-071)

3. Sistem Ekskresi Ginjal
Ginjal merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni keseimbangan dinamis antara cairan intra dan ekstrasel, serta pemeliharaan volume total dan susunan cairan ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari jumlah ion Na+, yang untuk sebagian besar terdapat di luar sel, di cairan antarsel, dan di plasma darah. Ginjal tersusun dari berjuta-juta nefron. Satu unit nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke dalam glomeruli, yang terletak di korteks ginjal. Dinding glomeruli inilah yang bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam-garam, dan glukosa. Ultrafiltrat, yang diperoleh dari filtrasi dan berisi banyak air serta elektrolit, akan ditampung di Kapsul Bowman dan kemudian disalurkan ke tubuli. Tubuli ini terdiri dari bagian proksimal dan distal, yang letaknya masing-masing dekat dan jauh dari glomerulus, kedua bagian ini dihubungkan oleh sebuah lengkungan (Henle’s loop). Di sini terjadi penarikan kembali secara aktif air dan komponen yang sangat penting bagi tubuh, seperti glukosa dan garam-garam, antara lain ion Na+. Zat-zat ini dikembalikan pada darah melalui kapiler yang mengelilingi tubuli. Sisanya yang merupakan perombakan metabolisme protein yang tak berguna seperti ureum dikeluarkan dari tubuh. Akhirnya, filtrat dari semua tubuli ditampung di ductus colligens, dimana terutama berlangsung reabsorbsi air. Filtrat disalurkan ke kandung kemih dan ditimbun di sini sebagai urin (Rahardja dan Tjay, 2002).

(Cory, 05-065)

4. Mekanisme Kerja Diuretik
Diuretik bermanfaat dalam pengobatan berbagai penyakit yang berhubungan dengan retensi abnormal garam dan air dalam kompartemen ekstraseluler tubuh, biasanya dirujuk sebagai edema. Pada umumnya, diuretik adalah suatu zat yang meningkatkan laju ekskresi urin oleh ginjal, terutama melalui penurunan reabsorbsi tubular ion natrium dan airnya dalam tubulus ginjal yang setara secara osmotik. Penimbunan cairan berlebih dalam kompartemen ekstraseluler dapat disebabkan oleh kegagalan jantung, sirosis hati, gangguan ginjal, toksemia kehamilan, atau akibat sampingan obat (Rahardja dan Tjay, 2002).
Obat-obat ini bekerja khusus terhadap tubuli, yakni di:
a. tubuli proksimal. Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini direabsorbsi secara aktif untuk lebih kurang 70 %, antara lain ion Na dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsorbsi berlangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap plasma. Diuretika osmotis bekerja di sini dengan merintangi reabsorbsi air dan juga natrium.
b. lengkungan Henle. Di bagian menaik Henle’s loop ini ca 25 % dari semua ion Cl- yang telah difiltrasi direabsorbsi secara aktif, disusul dengan reabsorbsi pasif dari Na+ dan K+, tetapi tanpa air, hingga filtrat menjadi hipnotis. Diuretika lengkungan terutama bekerja di sini dengan merintangi transpor Cl- dan demikian reabsorbsi Na+. Pengeluaran K+ dan air juga diperbanyak.
c. tubuli distal, di bagian pertama segmen ini, Na+ direabsorbsi secara aktif pula tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipnotis. Senyawa thiazid dan klortalidon bekerja di tempat ini dengan memperbanyak ekskresi Na+ dan Cl- sebesar 5 - 10 %. Di bagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+; proses ini dikendalikan oleh hormon anak-ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron (spironolakton) dan zat-zat penghemat kalium (amilorida, triamteren) bertitik kerja di sini dengan mengakibatkan ekskresi Na+ (kurang dari 5 %) dan retensi K+.
d. saluran pengumpul. Hormon antidiuretik ADH (vasopresin) dari hipofisis bertitik kerja di sini dengan jalan mempengaruhi permeabilitas bagi air dari sel - sel saluran ini (Rahardja dan Tjay, 2002).
Scan gambar hal.597
(Linna, 05-070)

5. Penggolongan Obat-obatan Antihipertensi
Pengobatan hipertensi secara farmakologis dapat digunakan obat-obatan antihipertensi antara lain:
• Diuretik
Obat-obatan jenis ini bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh melalui kencing sehingga volume cairan ditubuh berkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan. Contoh obat-obatan yang termasuk jenis ini adalah hidroklorotiazid.
• Beta bloker
Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Contoh obat-obatan yang termasuk didalamnya adalah : Metoprolol, Propranolol dan Atenolol.
• Penghambat simpatetik
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas saraf simpatis. Contoh obat yang termasuk dalam golongan penghambat simpatetik adalah: Metildopa, Klonidin dan Reserpin.
• Vasodilator
Obat golongan ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot pembuluh darah). Yang termasuk dalam golongan ini adalah : Prasosin, Hidralasin.
• Penghambat Angiotensin Converting Enzim (ACE)
Cara kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat Angiotensin II (zat yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah). Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah Kaptopril.
• Penghambat reseptor Angiptensin II
Cara kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat Angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah Valsartan (Diovan).
• Antagonis Kalsium
Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah : Nifedipin, Diltiasem dan Verapamil.

(Dhita, 05-069)

6. Penggolongan Obat-obatan Diuretik
a. Diuretik lengkungan : furosemid, bumetanida, dan etakrinat.
Obat - obat ini berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6 jam). Banyak digunakan pada keadaan akut, misalnya pada udema otak dan paru-paru. Memperlihatkan kurva dosis-efek curam, artinya bila dosis dinaikkan efeknya (diuresis) senantiasa bertambah.
b. Derivat thiazid: hidroklorothiazid, klortalidon, mefrusida, indapamida, xipamida (Diurexan), dan klopamida.
Efeknya lebih lemah dan lambat, juga lebih lama (6-48 jam) dan terutama digunakan pada terapi pemeliharaan hipertensi dan kelemahan jantung. Obat-obat ini memiliki kurva dosis-efek datar, artinya bila dosis optimal dinaikkan lagi, efeknya (diuresis, penurunan tekanan darah) tidak bertambah.
c. Diuretika penghemat kalium: antagonis aldosteron (spironalokton, kanrenoat), amilorida, dan triamteren.
Efek obat-obat ini hanya lemah dan khusus digunakan terkombinasi dengan diuretika lainnya guna menghemat ekskresi kalium. Aldosteron menstimulasi reabsorbsi Na dan ekskresi K; proses ini sihambat secara kompetitif (saingan) oleh antagonis aldosteron.
Amilorida dan triamteren dalam keadaan normal hanya lemah efek ekskresinya mengenai Na dan K. Tetapi, pada penggunaan diuretika lengkungan dan thiazid, yang mengekskresi kalium dengan kuat, zat-zat penghemat kalium ini menghambat ekskresi K dengan kuat pula. Mungkin juga ekskresi dari magnesium.
d. Diuretika osmotis : manitol dan sorbitol.
Obat-obat ini hanya direabsorbsi sedikit oleh tubuli, hingga reabsorbsi air juga terbatas. Efeknya adalah diuresis osmotis dengan ekskresi air tinggi dan relatif sedikit ekskresi Na. Terutama manitol, hanya jarang digunakan sebagai infus intravena untuk menurunkan cairan dan tekanan intraokuler, juga untuk menurunkan volume cairan serebrospinal dan tekanan intrakranial.
e. Perintang–karbonat hidrase : asetazolamida.
Zat ini merintangi enzim karbonat anhidrase di tubuli proksimal, sehingga di samping karbonat, juga Na dan K diekskresikan lebih banyak, bersamaan dengan air (Rahardja dan Tjay, 2002).

(Chrisye, 05-072)
7. Hidroklorotiazid
Hidroklorotiazid merupakan diuretik golongan thiazid yakni diuretik dengan potensi sedang, yang bekerja dengan cara menghambat reabsorbsi natrium pada bagian awal tubulus distal.



Struktur :

Gambar 1. Struktur Hidroklorotiazid
6-Chloro-3,4-dihydro-2H-1,2,4-benzo hiadiazine-7-sulfonamide 1,1-dioxide
BM : 297,73
pKa : 7,9 – 9,2
Hidroklorotiazid mengandung tidak kurang dari 98,0% C7H8ClN3O4S2 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian : serbuk hablur, putih atau praktis putih; praktis tidak berbau. Kelarutan : sukar larut dalam air (< 1 dalam 10.000), mudah larut dalam larutan natrium hidroksida, dalam n-butilamina, dan dalam dimetilfornamida; agak sukar larut dalam metanol; tidak larut dalam eter, dalam kloroform, dan dalam asam mineral encer.
Indikasi : edema, hipertensi
Peringatan : dapat menyebabkan hipokalemia; memperburuk diabetes dan pirai; mungkin memperburuk SLE (eritema lupus sistemik); usia lanjut; kehamilan dan menyusui; gangguan hati dan ginjal (hindarkan bila berat); porifiria.
Kontraindikasi : hipokalemia yang refaktur; hiponatremia; hiperkalsemia; gangguan ginjal dan hati yang berat; hiperurikemia yang simtomatik; penyakit addison.
Dosis : edema, dosis awal 12,5 – 25 mg sehari, untuk pemeliharaan jika mungkin kurangi; edema kuat pada pasien yang tidak mampu untuk mentoleransi diuretika berat, awalnya 75 mg sehari.
Hipertensi dosis awal 12,5 mg sehari jika perlu tingkatkan sampai 25 mg sehari.
Usia lanjut dosis awal 12,5 mg sehari mungkin cukup.

Peringatan : penghentian pemberian thiazida pada lansia tidak boleh secara mendadak, karena resiko timbulnya gejala kelemahan jantung dan peningkatan tensi.
Efek samping :
a. Hipokalemia : yakni kekurangan kalium dalam darah. Semua diuretik dengan titik kerja di bagian muka tubuli distal memperbesar ekskresi ion-K+ karena ditukarkan dengan ion Na akibatnya kadar kalium plasma dapat turun di bawah 3,5 mmol/liter. Gejala kekurangan kalium ini berupa kelemahan otot, kejang-kejang, obstipasi, anoreksia, kadang-kadang juga aritmia jantung tetapi gejala ini tidak selalu menjadi nyata. Pemakaian HCTZ hanya sedikit menurunkan kadar kalium.
b. Hiperurikemia : terjadi akibat retensi asam urat. Menurut dugaan, hal ini disebabkan oleh adanya persaingan antar diuretikum dengan asam urat mengenai transpornya di tubuli.
c. Hiperglikemia : dapat terjadi pada pasien diabetes, terutama pada dosis tinggi akibat dikuranginya metabolisme glukosa berhubung sekresi insulin ditekan.
d. Hipernatriemia : kekurangan natrium dalam darah. Gejalanya berupa gelisah, kejang otot, haus, letargi (selalu mengantuk), juga kolaps (Dollery, 1999).
(Ines, 05-061)

BAB II
PEMBAHASAN

1. Obat-obat diuretik bekerja dengan cara memblok reabsorpsi Na+ (termasuk reabsorpsi Cl- ) pada tubulus distal dengan menghambat ikatan membran luminal Na+/Cl- cotransport sistem.
Pada kondisi normal, terjadinya reabsorpsi Na+ Cl- dengan mekanisme sebagai berikut : pada tubulus distal, adanya cotransport NaCl akan memindahkan Nacl dari cairan luminal menuju ke sel tubulus distal. Cairan luminal Cl akan dipindahkan ke atas, sedangkan cairan luminal Na akan dipindahkan ke bawah oleh cotransporter tersebut. Reabsorpsi na terjadi secara lengkap ketika ikatan membran antiluminal Na K+-ATPase diaktifkan akan memompa Na memasuki ke interstitium melalui antiluminal membran. Cl yang terdapat dalam intraseluler akan berpindah ke interstitium melalui saluran yang terdapat di membran antiluminal (Block and Beale, 2004). Hidroklorotiazid akan menghambat reabsorpsi Na pada cotransporter NaCl di membran luminal. Penghambatan reabsorpsi ini akan mengurangi tekanan osmotic pada ginjal, sehingga lebih sedikit air yang direabsorpsi oleh collecting duct. Ini akan memacu peningkatan urin.
Scan gambar dari buku hal.600

(Diskusi Kelompok)

2. Penurunan Na+ di otot polos menyebabkan penurunan sekunder pada Ca2+ intraseluler sehingga otot menjadi kurang responsif. Hal ini akan menyebabkan relaksasi otot polos arterior sehingga akan menurunkan resistensi perifer yang menyebabkan penurunan tekanan darah.
(Diskusi Kelompok)

3. Menghambat enzim karbonat anhidrase sehingga mengalami ekskresi bikarbonat dari cairan tubuler

Gambar 2. Struktur karbonat anhidrase
Karbonat anhidrase adalah enzim yang berada dalam epitel tubulus ginjal dan sel darah merah. Enzim ini mengkatalisis reaksi yang nampaknya sederhana yang akan bergeser jauh ke kiri bila tanpa enzim: 2H2O + CO2 ↔ H2CO3 ↔ HCO3- + H3O+. Dalam ginjal, proton pada H3O+ ditukar dengan ion Na+ yang akan diserap kembali. Karena itu, karbonat anhidrase berperan sangat penting dalam menjaga keseimbangan ion dan air antar jaringan dan kemih. Bila zat penghambat karbonat anhidrase menghalangi enzim tersebut di dalam ginjal, maka ion Na+ dalam filtrat tidak dapat dipertukarkan, Na+ diekskresikan berama-sama air sebagai akibat hidrasi ion dan efek osmosis.
Hidroklorotiazid mempunyai mekanisme aksi pada penghambatan kerja enzim karbonat anhidrase. Adanya enzim karbonat anhidrase pada sel tubulus akan mempermudah pembentukan ion bikarbonat. Sisi aktif dari enzim ini adalah terdapat pada ion Zn2+. Ion ini akan berinteraksi dengan 2 sisi O yang ada dalam ion bikarbonat.

Gambar 3. Mekanisme interaksi sisi aktif karbonat anhidrase dengan bikarbonat

Pada hidroklorotiazid, interaksi yang terjadi adalah pada sisi aktif enzim karbonat anhidrase yaitu pada Zn2+. Pada hidroklorotiazid terdapat atom Cl yang merupakan golongan halogen dimana golongan ini memiliki elektronegativitas yang besar dibandingkan unsur golongan lain. Dengan kondisi bahwa Zn2+ memiliki kecenderungan elektropositif yang besar maka Zn2+ akan lebih memillih terikat dengan Cl daripada dengan O. Unsur O pada golongan VIA yang relatif kurang elektronegatif dibanding dengan Cl. Kemudian Zn2+ juga akan terikat pada O yang berikatan rangkap dengan S secara koordinasi. Dengan demikian Zn2+ akan membentuk kelat 5 ikatan.

Gambar 4. Interaksi karbonat anhidrase dengan Hidroklorotiazid

A. B.

Gambar 5. interaksi pada sisi reaktif hipoptetikal pada karbonat anhidrase

Ketika enzim karbonat anhidrase lebih beraktivitas pada hidroklorotiazid, maka ion bikarbonat yang terbentuk akan berkurang. Padahal ion ini yang akan berhubungan dengan keberadaan Na+ dalam tubulus, dan lebih jauh lagi akan cenderung bersifat menarik air. Saat keberadaan Na+ berkurang di dalam tubuh maka air akan banyak dikeluarkan lewat urin.

Adanya benzen akan menstabilkan molekul. Dengan ikatan kovalen koordinasi Zn2+ pada O ikatan rangkap, maka S juga akan dipengaruhi, maka benzena akan melakukan resonansi untuk kestabilan molekul itu sendiri. Dilihat dari strukturnya yang nonpolar, hidroklorotiazid akan lebih larut dalam lipid dan kurang larut air sehingga bisa bekerja dengan lebih baik pada sel-sel tubulus distal.

(Diskusi Kelompok)




Gambar 6. Antaraksi Kimia yang Normal dalam Tubulus Ginjal

Jaringan sel tubulus ginjal filtrat glomerolus


H2O + CO2 karbonat anhidrase H2CO3 HCO3- + H3O+ H3O+ + HCO3- H2CO3 CO2 + H2O




Na+ Na+, HCO3-

Urin







Gambar 7. Antaraksi Kimia dalam Tubulus Ginjal Setelah Penghambatan Karbonat Anhidrase

Jaringan sel tubulus ginjal filtrat glomerolus

H2O + CO2 karbonat anhidrase H2CO3 HCO3- + H3O+ HCO3-

Na+

Penghambat Urin
(Na+, HCO3-, H2O)










BAB III
KESIMPULAN

Hidroklorotiazid bekerja sebagai diuretik dengan mekanisme:
• Menghambat co-transporter Na+ / Cl
• Vasodilator
• Menghambat enzim karbonat anhidrase



























DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2000, IONI 2000, 71, Depkes RI, Jakarta
Block, J.H. and Beale J.M., 2004, Textbook of Organic Medicinal and
Pharmaceutical Chemistry, 11th Edition, 604-608, Lippincott Williams
and Wilkins, Philadhelphia
Dollary, C., dkk., 1999, Therapeutic Drugs, 52-56, Churchill Livingstone, Toronto
Foye, William O., 1995, Prinsip-prinsip Kimia Medisinal, Edisi II, 865-867, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Gray, H.H., dkk., 2002, Kardiologi, Edisi IV, 57-64, Erlangga, Jakarta
Lacy, F.C., et all., 2003, Drug Information Handbook, 11th edition, 691-693, Lexi-Comp. Inc., USA
Neal, M.J., 2005, At a Glance Farmakologi Medis, Edisi V, 37, Erlangga, Jakarta
Nogrady, T., 1992, Kimia Medisinal: Pendekatan Secara Biokimia, 466-469, Penerbit ITB, Bandung
Rahardja, K., dan Tjay, T.H., 2002, Obat-obat Penting, Edisi V, PT. Alex Media Komputindo, Jakarta
Skach, W., et all., 1996, Penuntun Terapi Medis (Handbook of Medical Treatment), 196-201, Alih bahasa: Indraty Secilia, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Vander, dkk., 2001, Human physiology: The Mechanism of Body Function, 8th Edition, 549, Mc Graw-Hill Companies, Inc., Singapore

Friday, November 23, 2007

GINJAL TOP PICTURE




Tuesday, November 20, 2007

HIPERTENSI

Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskuler yang paling lazim. Pevalensinya bervariasi menurut umur, ras, pendidikan, dan banyak variabel lain. Hipertensi arteri yang berkepanjangan dapat merusak pembuluh-pembuluh darah di dalam ginjal, jantung, dan otak, serta dapat mengakibatkan peningkatan insiden gagal ginjal, penyakit koroner, gagal jantung, dan stroke. Penurunan tekanan darah secara farmakologis yang efektif dapat mencegah kerusakan-kerusakan pembuluh darah dan terbukti menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas.

Diagnosis

Diagnosis hipertensi didasarkan pada peningkatan tekanan darah yang terjadi pada pengukuran berulang. Diagnosis digunakan sebagai prediksi terhadap konsekuensi yang dihadapi pasien, jarang meliputi pernyataan tentang sebab-akibat hipertensi.

Penelitian-penelitian epidemologis mengindikasikan bahwa resiko kerusakan ginjal, jantung dan otak secara langsung berkaitan dengan peningkatan tekanan darah. Bahkan hipertensi ringan ( tekanan darah lebih dari atau sama dengan 140/ 90 mm Hg) pada orang dewasa muda dan setengah baya pada akhirnya dapat meningkatkan risiko kerusakan organ akhir/ sasaran. Risiko kerusakan organ akhir pada semua tingkat tekanan darah/ tingkat umur adalah lebih besar pada orang-orang kulit hitam, dan relatif jarang pada wanita premenepous dibandingkan pada pria. Faktor-faktor risiko positif lainnya termasuk merokok, hiperlipidemia, diabetes, manifestasi kerusakan organ akhir yang terdeteksi pada saat diangnosis, dan riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler.

Perlu dicatat bahwa diagnosis hipertensi bergantung pada pengukuran tekanan darah dan bukan pada gejalayang dilaporkan pasien. Pada kenyataanya hipertensi lazimnya tanpa gejala ( asimptomatis ) sampai segera terjadi kerusakan organ akhir secara jelas atau bahkan telah terjadi kerusakan tersebut.

Etiologi hipertensi

Penyebab hipertensi hanya dapat ditetapkan pada sekitar 10%-15% pasien. Penting untuk mempertimbangkan penyebab khusus pada setiap kasus karena beberapa di antara mereka perlu dilakukan pembedahan secara definitif : kontriksi arteri ginjal, koarktsi aorta, feokromositoma, penyakit Chushing, dan aldosteroneisme primer.

Mekanisme aksi

Mekanisme aksi

Menghambat reabsorbsi sodium pada tubulus distal yang dikarenakan kenaikan ekskresi sodium dan air seperti potassium dan ion hydrogen.

Beta bloker atau penghambat saluran kalsiu bermanfaat pada pasien yang sudah mengidap penyakit arteri koroner sebelumnya.

Diuretic dapat menurunkan tekanan vena pulmoner dan sistemik secara efektif, sehingga gejala kongestif (dispnea) akan mengalami banyak kemajuan dan edema peripheral berkurang.


Hidroklorotiazid (25-50 mg p.o setiap hari) merupakan diuretic ringan yang menghambat absorbsi natrium didalam tubulus distal. Harus digunakan secara terbatas pada pasien dengan gejala ringan dan fungsi renal normal (kreatinin <2,0>


Senyawa thiazide bekerja pada tubulus distal. Dibagian pertama segmen ini, Na+ direabsorbsi secara aktif pula tanpa air hingga filrat menjadi lebih cair dan lebih hipotonis. dengan memperbanyak ekskresi Na+ dan Cl- sebesar 5-10%. dibagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan dengna ion K+ atau NH4+ ; proses ini dikendalikan oleh hormone anak-ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron (spironolakton) dan zat-zat penghemat kalium (amilorida, triamteren) bertitik kerja disini dengan mengakibatkan ekskresi Na+ (kurang dari 5%) dan retensi K





IMMUNOPATOFISIOLOGI CANDIDIASIS PADA PASIEN IMMUNOKOMPROMAIS

IMMUNOPATOFISIOLOGI CANDIDIASIS PADA PASIEN IMMUNOKOMPROMAIS


Pendahuluan

Fungsi utama system imun adalah mencegah infeksi dan menyingkiurkan mikroba yang sudah ada dalam jaringan. System imun terdiri atas imunitas nonspesifik (alamiah, innate, native) dan spesifik (acquired, adaptif). Sistem nonspesifik yang bekerja baik ditemukan pada individu sehat, siap menyerang dan menyingkirkan mikroba yang masuk ke dalam tubuh dengan cepat. Imunitas spesifik baru dirangsang oleh mikroba maupun yang berhasil memasuki tubuh. Reaksi imunitas spesifik dapat diarahkan terhadap mikroba maupun terhadap antigen nonmikroba. Imunitas spesifik juga memberikan sinyal ke system imun spesifik dan sebaliknya, imunitas spesifik dapat mengaktifkan imunitas nonspesifik untuk membantu menyingkirkan mikroba (simpo).



Awal kerja system imun

Neutrofil, monosit dan makrofag (semua disebut fagosit) merupakan komponen sistem imun non psesifik yang menggunakan berbagai reseptor membrane/molekul permukaan untuk mengenal dan menangkap mikroba. Pengenalan tersebut merupakan awal fungsi sel imun nonspesifik/fagosit untuk menyingkirkan mikroba yang berhasil masuk tubuh. Ikatan reseptor fagosit dan mikroba akan mengaktifkan fagosit untuk membunuh mikroba. Fagosit yang diaktifkan memproduksi sejumlaj mediator dan sitokin antara lain TNF-α yang selanjutnya merangsang endotel untuk memproduksi berbagai kemokin dan meningkatkan fagosit bermigrasi ke tempat inflamasi untuk menyingkirkan mikroba.(simpo)

Defisiensi Imun (Imunocompromis)

Berbagai keadaan dalam klinik dapat menimbulkan fungsi system imun yang terganggu ayau defisiensi imun (imunokompromis) sehingga tubuh tidak dapat menyingkirkan mikroba yang masuk le dalam tubuh atau mikroba yang sudah ada dalam tubuh dan hibup intraselluler. Adanya defisiensi di klinik harus dicurigai bila ditemukan adanya tanda-tanda kerentanan meningkat terhadap virus, jamur dan protozoa, infeksi sistemik oleh bakteri yang dalam keadaaan biasa mempunyai virulensi rendah, infeksi bakteri piogenik, infeksi bakteri atau autoimunitas. Defisiensi imun dapat terjadi fisiologik misalnya pada kehamilan, pada usia satu tahun pertama sampai usia 5 tahun dan usia lanjut.(simpo_)

Imunodefisiensai sekunder atau didapat merupakan defisiensi yang tersering ditemukan. Defisiensi tersebut dapat mengenai fungsi fagosit. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan defisiensi imun sekunder adalah proses penuaan, malnutrisi, mikroba, penggunaan obat imunosupresirf, sitotoksik/ radiasi, tumor, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah penyakit lain seperti diabetes. Defisiensi dapat juga terjadi karena tubuh kehilangan protein yang berlebihan seperti pada apenyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik ditemukan kehilangan protein dan penurunan IgG, IgA yang berarti dengan IgM normal.(swimpo)

Candidiasis

Candidiasis adalah bentuk umum untuk penyakit yang disebabkan oleh spesies candida dan mencakup kolonisasi, infeksi superficial, invasi local (dalam), dan penyebaran hematogen. Penyebab tersering adalah dari jenis spesies Calbicans, C tropicalis dan Torulopsis glabrata. Candida albicans umumnya menyebabkan infeksi superficial kronis pada mukosa penjamu dengan defek pada cell-mediated immunity (CMI), terutama pada HIV-infected pasien.(net)

Gambaran imunologis utama candidiasis

  • Sumber infeksi umumnya dari flora normal host sendiri

  • Barier mukosa yang intak menggambarkan mekanisme pertahanan utama host yang nonspesifik

  • Fagosit menelan ragi namun menyerang pseudomyselia dan myselia

  • Keadaan neutropenia merupakan predisposisi dari penyebaran hematogen

  • Defek Cmi predisposisi bagi penyaikit invasi mukosa

  • Sariawan ,oesofagitis dan vaginitis adalah gambaran utama pada AIDS

  • Candidiasis mukokutan cronik adalah sindrom spesifik pada pasien dengan defek imunoregulator (BCI)*


  1. Respon imun

Respon imun dimulai sewaktu ada picuan oleh antigen yang masuk ke dalam tubuh dan bertemu dengan macrofag sebagai APC (Antigen Presenting cel) yang akan mensekresikan IL-1 (sitokin autocrine) yang berguna untuk dan bergabung dengan HLA klas II sehingga membentuk MHC klas II.Komplek ini akan dipresentasikan pada sel T helper. Sel T helper akan mengalami aktivasi dan mulai menghasilkan sitokin yang dikenal sebagai interleukin-2 (IL-2) dan juga mulai memperlihatkan afinitas reseptor yang tinggi pada permukaannya. Il-2 merupakan sitokin mitogenik yang sangat poten untuk limfosit T dan berguna untuk proliferasi dari sel T. Il-2 juga sangat berguna untuk aktivasi sel Tc dan untuk memicu proliferasi sel ini. Oleh karena akutoaktivasi dari IL-2 sel Th akan mensekresi sitokin yang lain yang akan memacu pertumbuhan, diferensiasi, dan fungsi dari sel B, macrofag dan sel yang lain. Selain IL-2 sel Th juga menghasilkan Il-4 dan Il-6 yang dapat mengaktivasi sel B sebagian untuk menjadi sel plasma yang nantinya akan mensekresikan antibodi spesifik. (*BCI)

Fungsi dari limfosit Tc adalah untuk mengeradikasi sel yang memperlihatkan antigeb asing pada permukaannya seperti pada sel yang terinfeksi virus. Kebanyakan sel Tc memperlihatkan CD8 daripada CD4 oleh sebab itu pengenalan terhadap antigen lebih kepada MHC klas 1. ketika sebuah sel somatik terinfeksi virus, didalam sel ini mungkin tejadi proses pembentukan protein virusakibatnya mungkin rangkaian peptida terlihat pada permukaan dan membentuk kompleks dengan MHC klas 1. kompleks peptida dan MHc klas1 ini kemudian dikenal oleh reseptor sel Tc yang kemudian akan menyebabkan aktivasi dari limfosit Tc yang memungkinkannya untuk dapat membunuh ikatan ini. (Kompleks MHC klas 1 –peptida).

  1. Imunocompromis

Imunocopromis adalah suatu kondisidimana satu atau lebih defek terdapat pada respon imun alami dan adaptif yang mengakibatkan kerentanan terhadap infeksi yang dapat berubah menjadi bahaya pada pasien.

Gangguan respon imun ini dapat menyebabkan tejadinya infeksi. Berikut merupakan kondisi-kondisi bilamana gangguan dapat terjadi:

        1. defek pada respon imun humoral; defisiensi komplemen dan antibodi, menyebabkan gangguan pada opsonifikasi dan baktericidal.

        2. defek pada sistem imun seluler: gangguan pada sistem fagosit (neutrofil dan macrofag) dan imun seler spesifik.

        3. status imun dasar : perbedaan pada capabilitas alami dalam memproduksi TNF

        4. penggunaan imunosupresan

        5. cancer dan penyakit autoimun, diabetes, sirosis hepatis dan CRF.

Tipe Imunocompromis

Faktor Predisposisi

Dampak pada sistem imun

Tipe Infeksi

Obat2an sinar X yang imun osupresif, allograft recipients (ginjal, sumsum tulang, hati) dan terapi kanker.

Penurunan imunitas seluler dan humoral

Infeksi pulmonal, bacteremia, fungal infection, ISK

Virus (rubella, herpes, EB virus, hepatitis virus, HIV)

Replikasi virus pada sel limphoid menyebabkan gangguan fisiologis

Infeksi bakterial; sekunder(fungal dan protozoa) pada AIDS.

Malnutrisi

Hipoplasi limfoid, penurunan limfosit dalam sirkulasi, penurunan kemampuan fagositosis

Campak, TBC, ISPA, infeksi gastrointestinal.

Tumor

Perubahan pada sistem imun sel

Bacteremia, pneumonia, ISK

Asap rokok,partikel inhalasi (silika, spora jamur)

Inflamasi pulmonal, pengendapan imun komplek

ISPA, respon alergi

Penyakit endokrin kronis (diabetes)

Penurunan kemampuan fagositosis

Infeksi Staphylococcus, TBC, ISPA, Bacterremia

Defisiensi imun primer

Penurunan imun seller dan humoral

Infeksi Staphylococcus, TBC, ISPA, Bacterremia

Dalam penelitian yang dilakukan Prof.Guntur dengan membandingkan pasien dengan imunokompromis dengan yang bukan imonokompromis menunjukan hasil bahwa TNF-alpha pada IC pasien lebih tinggi daripada pasien NIC. TNF-alphaadalah suatu sitokin yang yang dihasilkan macrofag. Peningkatan TNF-alpha menyebabkan penekanan terhadap sumsum tulang, limfopenia, peningkatan sistem koagulasi dengan cara mempengarugi keseimbangan antara procoagulan dan anticoagulan, dan juga mengakibatkan proteolitic musculer, yang mengarah pada kejadian cachexia yang menyebabkan imunodefisiensi.

Selain itu derejat dari IL-10 pada pasien IC juga lebih tinggi dibanding pasien NIC. Hal ini mengindikasikan pada pasien IC terjadi kerusakanfungsi dari limfosit Th2 (tidak lagi fisiologis). IL-10 merupakan sitokin yang diproduksi oleh limfosit Th2 sewsudah distimulasi oleh APC sebagai sitokin antiinflamasi..

Selain itu juga terjadi peningkatan IgG yang mengindikasikan gangguan pada sistem imun humoral. Peningkatan IgG menyebabkan pasien rentan terjadi kerusakan sel endotel.. pada pasien IC terjadi penurunan konsentrasi plasma C3. C3 adalah molekul dari sistem imun nonspesifik yang dalam keadaan inaktif larut dalam plasma. C3 dapat diaktifkan sewaktu-waktu oleh suatu substansi contoh antigen, toxin, imuncomplek. C3 merupakan komplemen yang diperlukan untuk opzonifikasi, khemotaksis, dan mengeliminir komplek antigen-antibodi, sehingga komplemen ini dapat melisiskan dinding bakteri. Sehingga penurunan dari C3 mengakibatkan penurunan pertahananterhadap bakteri, sehingga rawan infeksi.


  1. Aspek Imunologis Infeksi Candida

        1. Virulensi Jamur Candida

Terdapat dua faktor virulensi Candida :

  1. Dinding Sel

Faktor virulensi Candida yang menentukan adalah dinding sel. Dinding sel berperan penting karena merupakan bagian yang berinteraksi langsung dengan sel pejamu. Dinding sel Candida mengandung zat yang penting untuk virulensinya, antara lain turunan mannoprotein yang mempunyai sifat imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap imunitas pejamu. 1,2

Candida tidak hanya menempel, namun juga penetrasi ke dalam mukosa. Enzim proteinase aspartil membantu Candida pada tahap awal invasi jaringan untuk menembus lapisan mukokutan yang berkeratin. 1,3

  1. Sifat dimorfik Candida

Faktor virulensi lain adalah sifat dimorfik Candida. Yaitu kemampuan Candida berubah bentuk menjadi pseudohifa. Bahkan sebagian peneliti menyatakan sifatnya yang pleomorfik. Sifat morfologis yang dinamis merupakan cara untuk beradaptasi dengan keadaan sekitar. Terdapat dua bentuk utama Candida : 1, 2

    • Bentuk ragi (spora)

    • Bentuk pseudohifa ( hifa, miselium, filamen).

Dalam keadaan patogen, C. albicans lebih banyak ditemukan dalam bentuk pseudohifa dibandingkan bentuk spora.

Bentuk hifa mempunyai virulensi yang lebih tinggi dibandingkan bentuk spora karena :

          • Ukurannya lebih besar dan lebih sulit difagositosis oleh sel makrofag, sehingga mekanisme di luar sel untuk mengeliminasi pseudohifa dari jaringan terinfeksi sangatlah penting.

          • Terdapatnya titik-titik blastokonidia multipel pada satu filamen sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih besar.

Perubahan dari komensal menjadi patogen merupakan adaptasi terhadap perubahan lingkungan sekitarnya. Pertumbuhan dan perubahan bentuk dari ragi menjadi hifa yang lebih invasif juga dipengaruhi imunitas selular. IFN-γ memblok transisi bentuk sel ragi menjadi bentuk pseudohifa. 1

        1. Imunomodulasi dan Adhesi

Terdapat dua aspek utama dalam interaksi antara pejamu dan parasit, yaitu imunomodulasi respons imun pejamu serta adesi sel jamur pada hospes. 1

  1. Imunomodulasi respons imun pejamu

Imunomodulasi adalah kemampuan potensial sel Candida dalam memodulasi sistem imunologi pejamu, berupa rangsangan untuk meningkatkan atau menurunkan reaksi imun pejamu.1

Zat seperti khitin, glukan, dan mannoprotein adalah kandungan yang terdapat dalam dinding sel yang berperan dalam proses imunomodulasi. Respons tersebut di antaranya menyebabkan diproduksinya sejumlah protein yang disebut sebagai heat shock proteins (hsp). Pada Candida, hsp juga berperan dalam merangsang respons imun pejamu, di samping perannya dalam proses pertumbuhan. Pada Candida terdapat dua famili hsp yang dikenal, yaitu hsp90 dan hsp70.1

  1. Adhesi sel jamur pada hospes

Aspek interaksi yang kedua adalah adhesi yang merupakan syarat terjadinya kolonisasi. Dengan adhesi Candida melekat pada sel epitel, sel endotel, faktor terlarut, dan matriks ekstraselular. Interaksi antara Candida dengan pejamu melibatkan sel fagosit, sel organ pejamu yang terinfeksi, matriks ekstraselular, dan protein yang terlarut dalam serum. 1

Protein yang berperan sebagai mediator adhesi dikelompokkan sebagai berikut : 1,2

  • Protein serum (serum albumin dan transferin, fibrinogen, fragmen komplemen C3d, fragmen komplemen iC3b).

  • Protein matriks ekstraselular (laminin, fibronectin, entactin, vitronectin, kolagen).

  • Mannan adhesins dan protein pengikat lain (mannan adhesins, protein hidrofobik, fimbriae, plastic-binding protein, epithelial binding lectin-like protein, aglutinin-like proteins, adhesi pada Streptococcus spp., bakteria lain)

  • Adhesi pada protein saliva.




























        1. Respon Imunologis pada Infeksi Candida

Secara umum, percobaan pada tikus memberi kesan bahwa imunitas selular dan humoral mempunyai peranan mayor dan minor dalam sistem pertahanan terhadap infeksi Candida. Sistem kekebalan yang berperan terhadap Candida adalah sistem kekebalan selular, limfosit T bertindak selaku regulator utama. Sel CD4+ dan CD8+ mempunyai peranan dalam respons pejamu terhadap infeksi Candida dan merupakan komponen sentral dalam pertahanan pejamu yang memproduksi sitokin. 1

Dalam dinding sel Candida terdapat bahan polidispersi yang mempunyai berat molekul tinggi yang menginduksi proliferasi limfosit, produksi IL-2 dan IFN-γ, serta membangkitkan perlawanan sitotoksik sel NK. 1

Fungsi limfosit T dalam kekebalan terhadap Candida adalah memproduksi sitokin yang merangsang dan meningkatkan aktivitas kandidisidal sel efektor seperti sel MN dan PMN. Sistem imun selular nonspesifik seperti yang diperankan oleh makrofag, PMN, dan sel-sel NK lebih dominan pada infeksi sistemik dibandingkan infeksi superfisial dan mukosal. 1

Secara in vitro maupun in vivo diketahui bahwa sel CD4+ adalah sel T yang terlibat dalam membangkitkan imunitas selular terhadap Candida. Sel CD8+ juga mempunyai efek bagi pertahanan tubuh terhadap Candida, hanya lebih kecil dan tertutup oleh CD4. Efek yang dibutuhkan dari CD4 adalah kemampuan memproduksi sitokin, misalnya TNF-α, yang meningkatkan aktivitas sel-sel fagositik. 1

Stimulasi sel mononuklear darah perifer manusia oleh Candida atau antigennya mengakibatkan diproduksinya beberapa sitokin yang berbeda. Sel mononuklear wanita sehat akan memproduksi TNF dan IL-1. 1

IL-1 merupakan sitokin yang memicu produksi IL-2 oleh Th1. IL-2 akan merangsang replikasi Th1. Selain itu, Th1 memproduksi IFN-γ yang dapat menginhibisi pembentukan germ tube. 1

Peranan CD8+ dalam patogenesis dan resolusi infeksi pada kandidosis mungkin membantu melisis PMN yang terinfeksi, memproduksi sitokin untuk mengaktivasi sel fagosit, dan memodulasi aktivitas efektor sel-sel CD4+. Sitokin tidak hanya penting sebagai penghubung antara limfosit T dan sel fagosit, namun juga penting untuk koordinasi sel T. 1



  1. Patologi candidiasis pada pasien imunocompromis

Candida albicans umumnya menyebabkan infeksi superfisial kronik pada mukosa host dengan defek sistem imun terutama pada pasien dengan infeksi HIV. Infeksi candida ini yang sering didapatkan yaitu candidiasis oropharing. Pada infeksi jenis ini sering ditemukan mlekul perlekatan dan invasi jaringan yang disebut SAP (secreted aspartic proteinase) yang paling tidak ada 9 turunannya.mekanisme pertahanan pada permukaan mukosa host terhadap C.albicans diperantarai oleh CMI oleh sel T CD4+. Mekanisme imun ini melibatkan sitokin dari TH1,dimana yang rentan infeksi candida adalah respon dari TH2.selain itu sekresi sistem imun terutama IgA juga memainkan peranan.fungsi dari IgA ini telah dinpuyblikasikan karena kemampuannya dalm menghambat perlekatan dari C.albicans pada sell epitel buccal (Longitudinal Study of Anti-Candida albicans Mucosal Immunity Against Aspartic Proteinases in HIV-Infected Patients)



Imunitas protektif terhadap candida melibatkan baik sel2 alami atau adaptif dan respon imn humoral.data saat ini memperlihatkan proteksi terhadap penyakit sistemik di mediasi secara primer oleh imunitas alami melalui mekanisme mula2

(neutrofil)dan imunitas humoral yang biasanya tidak sesuai pada pasien yang menerima obat2an imunosupresif dan atau terapi sitotoksik. Kesebalikannya proteksi terhadap penyakit candidiasis mucocutan dipercayakan terhadap CMI dan sel T yang biasanya terganggu pada pasien dengan defisiensi imunitas berat. Data saat ini menunjukan bahwa paien CMC memiliki susunan produksi sitokin yang berubah sebagai respon terhadap antigen candida yaitu dengan turunnya / rendahnya produksi IL-2, peningkatan produksi IL-6dan titer yang tinggi dari IgG dan IgA spesifik candida jumlahnya tetap dengan jumlah produksi sitokin dati Th1 yang rendah dan Th2 yang tinggi. Copyright © 2003, American Society for Microbiology. (deregulated-flas ).

Menurut wetao huang bahwa suatu mIL-17A/mIL-17AR yang merupakan sitokin proinflamatorydiperlukan untuk pertahanan host invivo IL-17A dapat merupakan terapi potensial bagi infeksi sistemik C.albicans pada pasien imunocompromisdengan cancer atau sindrom penurunan imunitas didapat. Requirement of Interleukin-17A for Systemic AntiCandida albicans Host Defense in Mice

http://www.journals.uchicago.edu/JID/journal/issues/v190n3/32115/32115.html

HUMORAL IMMUNITY
respon Antibody secara umum dan spesifik pada candida secara berulang-ulang menunjukan hasil yang tetap/utuh.data dari D lilic dan I Grevenor menunjukan titer dari spesifik antibodi IgG dan IgA yang sangat tinggi pada semua pasien.

T CELL MEDIATED IMMUNITY AND CYTOKINES
proteksi dari mucocutan candidiasis secara berulan-ulang menunjukan ketergantungan pada imunitas seluler. Jelas bahwa pasien dengan defek pada sel T (kombinasi defisiensi imun berat /Goerge syndrom), dan utamanya sel T CD4+ akn mudah terinfeksi oleh candida (patients denganAIDS).baru-baru ini teridentifikasi bahwa pasien yang terlahir dengan defisiensi pada reseptor i (IFN-{gamma}) dan (IL-12) menunjukan kerentanan terhadap mycobacteria serta candidiasis persisten. Beberapa penelitian menunjukan IFN-{gamma} dan IL-12 diperlukan untuk keberlangsungan hidup dan pembersihan dari infeksi. © 2001 Journal of Clinical Pathology







Monday, November 19, 2007

Hydrochlorothiazide

Why is this medication prescribed?

Hydrochlorothiazide, a 'water pill,' is used to treat high blood pressure and fluid retention caused by various conditions, including heart disease. It causes the kidneys to get rid of unneeded water and salt from the body into the urine.

This medicine is sometimes prescribed for other uses; ask your doctor or pharmacist for more information.

How should this medicine be used?

Hydrochlorothiazide comes as a tablet and liquid to take by mouth. It usually is taken once or twice a day. If you are to take it once a day, take it in the morning; if you are to take it twice a day, take it in the morning and in the late afternoon to avoid going to the bathroom during the night. Take this medication with meals or a snack. Follow the directions on your prescription label carefully, and ask your doctor or pharmacist to explain any part you do not understand. Take hydrochlorothiazide exactly as directed. Do not take more or less of it or take it more often than prescribed by your doctor.

Hydrochlorothiazide controls high blood pressure but does not cure it. Continue to take hydrochlorothiazide even if you feel well. Do not stop taking hydrochlorothiazide without talking to your doctor.

Other uses for this medicine

Hydrochlorothiazide may also be used to treat patients with diabetes insipidus and certain electrolyte disturbances and to prevent kidney stones in patients with high levels of calcium in their blood. Talk to your doctor about the possible risks of using this medicine for your condition.

What special precautions should I follow?

Before taking hydrochlorothiazide,

  • tell your doctor and pharmacist if you are allergic to hydrochlorothiazide, sulfa drugs, or any other drugs.
  • tell your doctor and pharmacist what prescription and nonprescription medications you are taking, especially other medicines for high blood pressure, anti-inflammatory medications such as ibuprofen (Motrin, Nuprin) or naproxen (Aleve), corticosteroids (e.g., prednisone), lithium (Eskalith, Lithobid), medications for diabetes, probenecid (Benemid), and vitamins. If you also are taking cholestyramine or colestipol, take it at least 1 hour after hydrochlorothiazide.
  • tell your doctor if you have or have ever had diabetes, gout, or kidney, liver, thyroid, or parathyroid disease.
  • tell your doctor if you are pregnant, plan to become pregnant, or are breast-feeding. If you become pregnant while taking hydrochlorothiazide, call your doctor immediately.
  • if you are having surgery, including dental surgery, tell the doctor or dentist that you are taking hydrochlorothiazide.
  • you should know that this drug may make you drowsy. Do not drive a car or operate machinery until you know how this drug affects you.
  • remember that alcohol can add to the drowsiness caused by this drug.
  • plan to avoid unnecessary or prolonged exposure to sunlight and to wear protective clothing, sunglasses, and sunscreen. Hydrochlorothiazide may make your skin sensitive to sunlight.

What special dietary instructions should I follow?

Follow your doctor's directions. They may include following a daily exercise program or a low-salt or low-sodium diet, potassium supplements, and increased amounts of potassium-rich foods (e.g., bananas, prunes, raisins, and orange juice) in your diet.

What should I do if I forget a dose?

Take the missed dose as soon as you remember it. However, if it is almost time for your next dose, skip the missed dose and continue your regular dosing schedule. Do not take a double dose to make up for a missed one.

What side effects can this medication cause?

Frequent urination should go away after you take hydrochlorothiazide for a few weeks. Tell your doctor if any of these symptoms are severe or do not go away:

  • muscle weakness
  • dizziness
  • cramps
  • thirst
  • stomach pain
  • upset stomach
  • vomiting
  • diarrhea
  • loss of appetite
  • headache
  • hair loss

If you experience any of the following symptoms, call your doctor immediately:

  • sore throat with fever
  • unusual bleeding or bruising
  • severe skin rash with peeling skin
  • difficulty breathing or swallowing

HYDROCHLOROTHIAZIDE

HYDROCHLOROTHIAZIDE

Nama Generik : Hydrochlorothiazide (hy dro klor o THY a zide)
Nama Dagang : Aldactazide, Aldoril, Capozide, Dyazide, Hydrodiuril, Inderide, Lopressor, Maxzide, Microzide, Moduretic, Timolide, Vaseretic, Carozide, Diaqua, Esidrix, Ezide, Hydro Par, HydroDIURIL, Loqua, Microzide, Oretic, Zestoretic, Prinzide.

EFEK OBAT ( INDIKASI )

Hydrochlorothiazide adalah suatu "water pill" (diuretic) yang membantu ginjal mencegah penyerapan garam berlebih dan cairan yang tidak diinginkan dalam tubuh. Hal ini menyebabkan produksi urin lebih meningkat.
Hydrochlorothiazide ini digunakan untuk mengurangi edema yang disebabkan pada kegagalan jantung congestive, cirrhosis hati, kegagalan ginjal kronis, pengobatan korticosteroid, sindrom nephrotik, serta hipertensi.
Hydrochlorthiazide juga dapat digunakan untuk mengobati pasien yang terkena diabetes insipidus dan untuk mencegah batu ginjal pada pasien dengan kadar kalsium yang tinggi dalam darah.

EFEK SAMPING

1. Lemah
2. Hipotensi
3. Ruam kulit
4. Diare
5. Sulit bernafas
6. Bengkak pada muka, bibir, lidah, dan tenggorokan
7. Lemah atau nyeri otot
8. Kehilangan nafsu makan
9. Nyeri perut
10. Sakit kepala
11. Pandangan kabur
12. Kram
13. Rambut rontok
14. Mulut kering, sering merasa kehausan, nausea, vormiting
15. Impoten
16. Pankreatitis
17. Anaphylaxis
18. Urin merah atau gelap
19. Ikterus pada kulit dan mata

INSTRUKSI

Hydrochlorothiazide ini tentu dapat digunakan apabila diresepkan oleh dokter. Obat ini dapat berbentuk tablet dan cairan yang dapat langsung diminum secara oral. Pakailah obat ini sesuai perintah, jangan memakainya dengan dosis yang kurang ataupun berlebih dari apa yang telah diresepkan.
Hydrochlorothiazide biasanya diberikan 1x ataupun 2x sehari. Apabila hanya digunakan 1x sehari maka minumlah pada pagi hari. Sedangkan apabila digunakan 2x sehari maka minumlah pada pagi hari dan sore hari menjelang mandi sebelum pukul 6 sore karena untuk mencegah pengeluaran urin yang berlebih.
Hydrochlorothiazide hanya dapat mengontrol hipertensi bukan untuk menyembuhkannya. Oleh karena itu lanjutkan penggunaan walaupun sudah dirasa sehat. Jangan pernah berhenti mengkonsumsinya sebelum bertanya kepada dokter.

Dosis
Dosis min/max dewasa : 12.5mg/200.0mg
Dosis min/max anak-anak : 1.0mg/kg/3.3mg/kg
1. Anak 6 bulan sampai 12 tahun : 1-2 mg/kg 1 atau 2x sehari
2. Anak-anak di bawah 6 bulan : 3mg/kg 2x sehari
Total pemakaian Hydrochlorothiazide pada anak-anak berumur dibawah 2 tahun tidak boleh lebih dari 37,5 mg/hari dan pada anak-anak umur 2-12 tahun tidak boleh melebihi 100mg/hari.
Dosis manula : 12,5mg

Beberapa dosis yang sesuai dengan indikasi :
1. Edema :
a. 1 tablet (25 mg) 2x sehari secara oral
b. 2 tablet (50 mg) 2x sehari secara oral
c. Setengah tablet (12,5 mg) 2x sehari secara oral
d. 2 tablet (50 mg) 1x sehari secara oral
e. 1 tablet (25 mg) 1x sehari secara oral
f. 1 tablet (50 mg) 2x sehari secara oral
g. 1 tablet (50 mg) 1x sehari secara oral
h. 2 tablet (100 mg) 1x sehari secara oral
i. 1 tablet (100 mg) 1x sehari secara oral
2. Hipertensi :
a. 1 tablet (25 mg) 2x sehari secara oral
b. 2 tablet (50 mg) 2x sehari secara oral
c. Setengah tablet (12,5 mg) 2x sehari secara oral
d. 2 tablet (50 mg) 1x sehari secara oral
e. 1 tablet (25 mg) 1x sehari secara oral
f. 1 tablet (50 mg) 2x sehari secara oral
g. 1 tablet (50 mg) 1x sehari secara oral
h. 2 tablet (100 mg) 1x sehari secara oral
i. 1 tablet (100 mg) 1x sehari secara oral

Penyimpanan obat :
Simpan pada suhu ruangan bertemperatur sekitar 58-86 derajat.

Larangan penyimpanan obat:
1. Hindari dari jangkauan anak-anak dan binatang peliharaan
2. Jauhkan dari cahaya
3. Jangan simpan di kamar mandi, di dekat tempat pencucian piring, dan tempat lembab lainnya, karena dapat menyebabkan obat cepat rusak
4. Jangan simpan di dalam lemari pendingin
5. Jangan simpan obat yang telah expired


PERINGATAN

Interaksi Obat :
Hydrochlorothiazide dapat meningkatkan efek alkohol. kah janganlah mengkonsumsi alkohol selama memakai obat ini. Apabila hydrochlorothiazide ini digunakan dengan obat tertentu maka dapat meningkatkan efek onat ini sendiri, walaupun demikaian hal in dapat pula mengakibatkan efek obatnya menjadi menurun. oleh karena itu, penting nertanya kepada dokter bila ingin mengkombinasikan hydrochlorothiazide beberapa obat-obat di bawah ini :
1. Barbiturates, seperti phenobarbital
2. Cholestyramine (Questran)
3. Colestipol (Colestid)
4. Corticosteroids, seperti prednisone dan ACTH
5. Digoxin (Lanoxin)
6. Insulin atau Micronase untuk mengobati diabetes
7. Lithium (Lithonate)
8. Narcotics, seperti Percocet
9. Obat anti inflamasi nondteroid, seperti Naprosyn
10. Norepinephrine (Levophed)
11. Obat hipertensi lainnya, seperti Aldomet
12. Tubocurarine

Kontraindikasi penyakit obat :
Paling penting :
Hypokalemia, Hypomagnesemia, Hyponatremia, Mild Pre-Eclampsia, dan Hipertensi pada kehamilan
Penting :
Hypercalcemia, Oliguria
Kemungkinan penting :
Pancreatitis akut, Diabetes Mellitus, Penyakit hati , Gout, Hypercholesterolemia, Sympathectomy, Systemic Lupus Erythematosus

Sebelum memakai hydrochlorothiazide ada bebrapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Beritahu dokter atau farmasis bila memeiliki alergi pada obat tertentu
2. Beritahu dokter atau farmasis bila memiliki penyakit diabetes, gout, ginjal, hati, tiroid dan paratiroid
3. Beritahu dokter atau farmasis bila sedang hamil, berencana untuk hamil, atau sedang menyusui. Apabila pada saat memakai obat ini tiba-tiba hamil maka segeralah mengubungi dokter
4. Bila sedang operasi, termasuk operasi gigi, beritahu dokter atau dokter gigi tersebut bahwa anda sedang menggunakan hydrochlorothiazide
5. Obat ini dapat menyebabkan kantuk, maka jangan menhendarai kendaraan atau mengoperasikan mesin sampai anda benar-benar tahu apa efek obatnya terhadap anda.
6. Ingat nahwa alkohol dapat menambah rasa kantuk akibat ibat ini
7. Hindari kontak langsung dengan cahaya dengan menggunakan pakaian yang panjang, kacamata, dan sunscreen. Obat ini dapat menyebabkan anda sensitif dengan cahaya.

Hydrochlorothiazide

__a.efek obat (indikasi)__
Hydrochlorothiazide merupakan golongan obat diuretic ( water pill). Hydrochlorothiazide bekerja dengan menahan garam dan penyerapan kembali air diginjal, menyebabkan peningkatan pengeluaran urin (diuresis). Obat ini juga dapat digunakan untuk mengobati tekanan darah. Tetapi proses penurunan tekanan darahnya tidak diketahui dengan baik.( http://www.drugs.com/cdi/hydrochlorothiazide.html); (http://www.medicinenet.com/hydrochlorothiazide/article.htm)
__b. efek samping__
Sebagaimana obat lain, selain mempunyai efek yang menguntungkan hydrochlorothiazide juga memiliki efek yang merugikan. Efek samping yang umum disebabkan oleh obat ini yaitu:
1. meningkatnya frekuensi buang air kecil
2. mata kabur
3. diare
4. kepeningan
5. eriksi tidak bertahan lama
6. apabila berdiri dari duduk merasa pusing
7. kram
8. dahaga
9. nyeri perut
10. muntah
11. hilang selera makan
12. rambut rontok
13. mengantuk

Apabila merasakan hal – hal yang ada dibawah ini maka segera hubungi dokter, gejalanya meliputi:
1. sakit tenggorokan disertai dengan demam
2. perdarahan yang tidak biasa
3. adanya ruam kulit dengan adanya kulit yang mengelupas
4. sesak napas disertai susah menelan
Apabila anda mengalami efek yang serius maka segera hubungi FDA/ BPOM
(http://www.drugs.com/cdi/hydrochlorothiazide.html);(http//www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a682571.html )


__
c. instruksi
__ CARA PENGGUNAAN
Bentuk sediaan obat ini adalah tablet dan sirup cara pemberiaannya lewat oral. Pemberiannya biasanya satu kali sehari atau dua kali sehari. Apabila diminum sekali sehari maka diminum pada pagi hari. Apabila diminum dua kali sehari maka diminum pada pagi dan sore. Dalam pemakaian obat ini dapat dengan makan atau snack dan bisa juga tidak. Ikuti petunjuk yang ada dilabel obat, apabila ada hal yang tidak diketahui maka tanyakan pada dokter atau apoteker untuk menjelaskan hal – hal yang tidak dimengerti.
(http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a682571.html)
__d. peringatan __
HAL – HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
Sebelum menggunakan hydrochlorothiazide maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya:
1. Apabila mempunyai alergi terhadap sulfa maka ada kemungkinan juga alergi terhadap Hydrochlorothiazide, karena hydrochlorothiazide mempunyai kesamaan struktur kimia.(http://www.medicinenet.com/hydrochlorothiazide/article.htm)
2. Susah buang air kecil
3. jika dalam penggunaan obat cholestyramine or colestipol, maka obat itu diminum 1 jam setelah minum hydrochlorothiazide;(http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a682571.html)]
4. jika dalam keadaan hamil; tiba – tiba hamil; atau berencana untuk hamil maka beritahukanlah kepada doktermu
5. jika akan operasi termasuk untuk gigi maka beritahukan pada doktermu bahwa kamu sedang menggunakan hydrochlorothiazide
6. setelah mengkonsumsi obat ini ada baiknya kamu tidak mengendarai kendaraan sendiri
7. alkohol dapat meninggkatkan efek samping dari hydrochlorothiazide, yaitu mngantuk
8. gunakan pelindung dari cahaya matahari, karena dengan penggunaan hydrochlorothiazide akan meningkatkan sensitifitas kulit terhadap cahaya matahari
9. apabila anda mengkonsumsi obat diabetes maka efektifitas dari kerja obat itu akan berkurang

Apabila kamu lupa minum obatnya maka setelah ingat segera minum obatnya walaupun itu mendekati waktu minum kedua. Lalu jarak minum paruh waktu yang kedua juga sesuai aturan. Perlu diingat bahwa jangan meminum obat ini sekali minum dengan dua dosis. (http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a682571.html)

CARA PENYIMPANAN OBAT YANG BENAR
1. Tutup tempat obat dengan rapat
2. Jauhkan dari jangkauan anak kecil
3. Simpan dalam suhu kamar dan jauhkan dari cahaya matahari
4. Jangan dibekukan
5. Apabila melebihi tanggal kadaluarsa jangan digunakan lagi
(http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a682571.html)

Interaksi obat
Hydrochlorothiazide diekskresi melalui ginjal dengan cepat kemungkinan dosis akan berkurang apabila mengalami kelainan ginjal. Selama penggunaan hydrochlorothiazide kadar asam urat kemungkinan akan meningkat, dan jarang terjadi encok. Hydrochlorothiazide akan mengurangi ekskresi litium yang dikeluarkan melalui ginjal dan dapat meningkatkan kadar ketoksikan dari lithium itu sendiri.



PENGEMBANGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF UNTUK PENENTUAN KADAR CAMPURAN OBAT ANTIHIPERTENSI INHIBITOR ACE (KAPTOPRIL, ENALAPRIL DAN LISINOPRIL) DAN DIURETIKA (HIDROKLOROTIAQZIDA) DALAM SEDIAAN FARMASI
Deni Rahmat*, Kurnia Firman, Slamet Ibrahim
Telah dikembangkan metode spektrofotometri ultraviolet derivatif pertama dan kedua untuk penentuan kadar obat antihipertensi dalam campurannya dengan hidroklorotiazida, yaitu tablet kaptopril-hidroklorotiazida, enalapril maleat-hidroklorotiazida dan lisinopril-hidroklorotiazida hasil terbaik penentuan kadar zat antihipertensi tersebut diperoleh dengan menggunakan panjang gelombang “zero-crossing” hidroklorotiazida pada 220 nm dan 249 nm secara spektrofotometri derivatif pertama. Kecermatan dan keseksamaan metode ditentukan secara “spike placebo recoveries”, Perolehan kembali kaptopril, enalapril maleat dan lisinopril 1,78)%.1,85) dan (103,141,73), (101,25berturut-turut adalah (103,08 Hasil terbaik penentuan kadar hidroklorotiazida diperoleh dengan menggunakan panjang gelombang 264 dan 283 nm secara spektrofotometri derivatif pertama. Perolehan kembali hidroklorotiazida dalam campurannya dengan kaptopril, enalapril maleat dan lisinopril dalam 0,85) dan0,34), (100,55larutan simulasi berturut-turut adalah (99,39 0,39)%.(100,24

HIDROKLORTIAZID

HIDROKLORTIAZID

Hidroklortiazid merupakan diuretik golongan tiazid yakni diuretik dengan potensi sedang, yang bekerja dengan cara menghambat reabsorbsi natrium pada bagian awal tubulus distal.

Indikasi : edema, hipertensi

Peringatan : dapat menyebabkan hipokalemia; memperburuk diabetes dan pirai; mungkin memperburuk SLE (eritema lupus sistemik); usia lanjut; kehamilan dan menyusui; gangguan hati dan ginjal (hindarkan bila berat); porifiria.

Kontraindikasi : hipokalemia yang refaktur; hiponatremia; hiperkalsemia; gangguan ginjal dan hati yang berat; hiperurikemia yang simtomatik; penyakit addison.

Efek samping : hipotensi postural dan gangguan saluran cerna yang ringan; impotensi (reversibel bila obat dihentikan); hipokalemia; hipomagnesemia; hiponatremia; hiperkalsemia; alkalosis hipokloremik; hiperurisemia; pirai; hiperglikemia; dan peningkatan kadar kolesterol plasma; jarang terjadi ruam kulit; fotosensitivitas; gangguan darah (termasuk neutropenia, trombositopenia) bila diberikan pada masa kehamilan akhir trombositopenia, neonatal); pankreatitis; kolestasis intrahepatik; dan reaksi hipersensitivitas (termasuk pneumonitis, edema paru, reaksi kulit yang berat).

Dosis : edema, dosis awal 12,5 – 25 mg sehari, untuk pemeliharaan jika mungkin kurangi; edema kuat pada pasien yang tidak mampu untuk mentoleransi diuretika berat, awalnya 75 mg sehari.

Hipertensi dosis awal 12,5 mg sehari jika perlu tingkatkan sampai 25 mg sehari.

Usia lanjut dosis awal 12,5 mg sehari mungkin cukup.

Struktur :

6-Chloro-3,4-dihydro-2H-1,2,4-benzo hiadiazine-7-sulfonamide 1,1-dioxide

C7H8ClN3O4S2

BM : 297,73

pKa : 7,9 – 9,2

Hidroklortiazide mengandung tidak kurang dari 98,0% C7H8ClN3O4S2 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian : serbuk hablur, putih atau praktis putih; praktis tidak berbau. Kelarutan : sukar larut dalam air (<>

Sejarah : hidroklortiazid (HCTZ) merupakan derivat sulfonamid golongan benzothiazine biasa dikenal sebagai thiazid dan semula ditemukan (tahun 1959) dalam penelitian penghambat anhidrase carbonyc (ekskresi ion natrium dan klorida di dalam kemih) yang lebih poten. Efek diuretisnya lebih ringan dari diuretika lengkungan tetapi bertahan lebih lama, 6-12 jam. Daya hipotensifnya lebih kuat (pada jangka panjang), maka banyak digunakan sebagai pilihan pertama untuk hipertensi ringan sampai sedang. Seringkali pada kasus yang lebih berat dikombinasikan dengan obat-obat lain untuk memperkuat efeknya, khususnya beta-blockers. Zat induknya klorthiazida berkhasiat 10 kali lebih lemah, maka kini tidak digunakan lagi

.

Peringatan : penghentian pemberian thiazida pada lansia tidak boleh secara mendadak, karena resiko timbulnya gejala kelemahan jantung dan peningkatan tensi.

Efek samping :

  • Hipokalemia : yakni kekurangan kalium dalam darah. Semua diuretik dengan titik kerja di bagian muka tubuli distal memperbesar ekskresi ion-K+ karena ditukarkan dengan ion Na akibatnya kadar kalium plasma dapat turun di bawah 3,5 mmol/liter. Gejala kekurangan kalium ini berupa kelemahan otot, kejang-kejang, obstipasi, anoreksia, kadang-kadang juga aritmia jantung tetapi gejala ini tidak selalu menjadi nyata. Pemakaian HCTZ hanya sedikit menurunkan kadar kaluim.
  • Hiperurikemia : terjadi akibat retensi asam urat (uric acid). Menurut dugaan, hal ini disebabkan oleh adanya persaingan antar diuretikum dengan asam urat mengenai transpornya di tubuli.
  • Hiperglikemia : dapat terjadi pada pasien diabetes, terutama pada dosis tinggi akibat dikuranginya metabolisme glukosa berhubung sekresi insulin ditekan.
  • Hipernatriemia : kekurangan natrium dalam darah. Gejalanya berupa gelisah, kejang otot, haus, letargi (selalu mengantuk), juga kolaps.

DIABETES MELITUS

Gangguan Metabolik

Gangguan metabolic yang dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik antara lain diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme primer dan amiloidosis.

Diabetes Melitus

Nefropati diabetika (penyakit ginjal pada pasien diabetes) merupakan salah satu penyebab kematian terpenting pada diabetes mellitus. Lebih dari sepertiga dari semua pasien yang baru masuk dalam program ESRD menderita gagal ginjal.

Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes mellitus. Glomerulosklerosis adalah lesi yang paling khas dan dapat terjadi secara difus atau nodular. Glomerulosklerosis diabetic difus merupakan lesi yang paling sering terjadi, …………………..

Stadium Nefropati diabetikum :

  1. stadium 1 (perubahan fungsional dini)

Hipertrofi ginjal

Peningkatan daerah permukaan kapiler glomerular

Peningkatan GFR

  1. stadium 2 (perubahan struktur dini)

Penebqalan membrane basalis kapiler glomerulus

GFR normal atau sedikit meingkat

  1. stadium 3 (nefropati insipen)

Mikroalbuminuria (30-300 mg/24 jam)

Tekanan darah meningkat

  1. stadium 4 (nefropwati klinis atau menetap)

Proteinuria (>300mg/24 jam)

GFR menurun

  1. stadium 5 (insufisiensi atau gagal ginjal progresif)

GFR menurun dengan cepat (-1 ml/bulan)

Ginjal kehilangan fungsinya setiap bulan hinga 3%

Stadium 5

Stadium 5 atau fase kegagalan atau insufisiensi ginjal progresif, ditandai dengan azotemia (peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum) disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat, yang pada akhirnya menyebabkan berkembangnya ESRD dan membutuhkan dialysis atau transplantasi ginjal. Rata-rata waktu yang dibutuhka untuk mencapai stadium 5 dari awitan diabetes tipe 1 adalah 20 tahun. Kecepatan rata-rata penurunan GFR adalah 1ml/bulan., sehingga ESRD muncul kira-kira 5-10 tahun setelah awitan proteinuria. Nefropati diabetik lantjut stadium 5 biasanya bersamaan dengan retinopati, neuropati perifer, dan hipertensi.

Hasil dari beberapa penelitian, memperlihatkan bahwa pengaturan yang tepat dari glukosa darah (dicapai melalui pengawasan ketat terhadap makanan, olahraga, pemantauan glukosa darah pribadi, dan insuli harian multidosis) dapat memperlambat laju perkembangan nefropati, retinopati, dan neuropati secara signifikan, khususnya bila pengobatan dimulai selama stadium ketiga atau mikroalbuminuria. Pembatasan protein pada makanan dan penurunan tekanan darah dengan penghambat ACE akan menurunkan ekskresi albumin dan memperlambat nefropati diabetik. Penghambat ACE efektif dalam memperlambat perkembangan gagal ginjal karena penghambat ACE adalah satu-satunya obat yang bekerja dengan memperlebar arteriol eferen, sehingga tekanan intraglomerulus akan menurun. Sebaliknya antagonis kalsium (misalnya verapamil) menyebabkan dilatasi arteriol aferen pada ginjal, yang lebih dapat meningkatkan tekanan entraglomerulus daripada menurunkan tekanan intraglomerulus.

Terapi penggantian ginjal sebaikknya dilakukan pada stadium yang lebih waal daripada bila dilakukan pada psien tanpa diabetes berkaitan dengna makin cepatnya timbul komplikasi diabetic lain (missal retinopati). Dialysis peritoneal rawat jalan secara terus-menerus adalah pilihan lain pengobatan. Secara umum, kematian pada pasien diabetes dengan dialysis jangka panjang adalah tiga kali lebih tinggi daripada kematian pada pasien tanpa diabetes dalam usia yang sama. Transplantasi ginjal dapat berhasil pada pasien diabetes yang usianya lebih muda dibandingkan pada pasien yang usianya lebih tua.

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik

* Penatalaksanaan konservatif

Penentuan dan pengobatan penyebab

Pengoptimalan dan rumatan keseimbangan garam dan air

Koreksi obstruksi saluran kemih

Deteksi awal dan pengobatan infeksi

Pengendalian hipertensi

Diet rendah protein, tinggi kalori

Pengendalian keseimbangan elektrolit

Pencegahan dean pengobatan penyakit tulang ginjal

Modifikasi terapi obat dengan perubahan fungsi ginjal

Deteksi dan pengobatna komplikasi

* Terapi penggantian ginjal

Hemodialisis

Dialisis peritoneal

Transplantasi ginjal

Pengaturan diet Natrium dan Cairan

Pengaturan natrium dalam diet memiliki arit penting dalam gagal ginjal. Jumlah natrium yang biasanya diperbolehkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g natrium), tetapi asupan natrium yang optimal harus ditentukan secara individual pada setiap pasien untuk mempertahankan hidrasi yang baik. Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan terjadinya retensi cairan, edema perifer, edem paru, pipertensi, dan gagal jantung kongestif.

Hipertensi

Fungsi ginjal akan lebih cepat mengalami kemunduran jika terjadi hipertensi berat. Biasanya hipertensi dapat dikontrol secara efektif dengan pembatasan natrium dan cairan, serta melalui ultrafiltrasi bila penderita sedang mengalami hemodialisis., karena 90% hipertensi bergantung pada volume.

Dialisis

Dialysis adalah suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui suatu membrane berpori dari satu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis peritoneal merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam dialisis, dan prinsip dasar kedua teknik sama yaitu difusi zat terlarut dan air dari plasma kelarutan dialisis sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.