MEKANISME AKSI HIDROKLOROTIAZID SEBAGAI DIURETIK
Disusun oleh :
Ines Septi A. (058114061)
Margarita Krishna S. (058114062)
Maria Corazon S. (058114065)
Maria Widiastuti Dwi (058114067)
Widya Adhitama (058114069)
Linna Ferawati G. (058114070)
Bernadetta Ayu W. (058114071)
Chrisye Dewi P. (058114072)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian di seluruh dunia. Berbagai cara pengobatan telah ditempuh untuk mengobati penyakit ini, antara lain diuretik, penghambat simpatetik, beta bloker, vasodilator, penghambat Angiotensin Converting Enzim, penghambat reseptor Angiotensin II, dan antagonis kalsium. Sistem kardiovaskuler terdiri atas jantung dan pembuluh darah serta sistem sirkulasinya
Jantung memiliki peranan penting dalam penyediaan oksigen untuk seluruh tubuh dan membersihkan tubuh dari hasil metabolisme (karbondioksida). Organ ini melaksanakan fungsinya dengan mengumpulkan darah yang kekurangan oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya ke dalam paru-paru, dimana darah akan mengambil oksigen dan membuang karbondioksida. Jantung kemudian mengumpulkan darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan memompanya ke jaringan di seluruh tubuh. Dengan demikian jantung bertugas menjaga sirkulasi darah. Salah satu aspek yang penting dalam pengaturan sirkulasi darah adalah tekanan darah.
Ketidaknormalan tekanan darah dikelompokkan menjadi dua, yaitu hipertensi dan hipotensi. Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). Keadaan itu terjadi jika tekanan darah pada arteri utama didalam tubuh terlalu tinggi. Sedangkan hipotensi adalah keadaan dimana tekanan darah menurun secara abnormal.
Pengobatan hipertensi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pengobatan secara nonfarmakologis (non-obat) dan farmakologis (terapi dengan obat-obatan). Terapi tanpa obat dapat dilakukan antara lain dengan menurunkan berat badan, berolah raga, menghentikan kebiasaan merokok dan minum alkohol. Sedangkan pengobatan secara farmakologis dilakukan dengan terapi menggunakan obat-obatan seperti golongan diuretik (hidroklorotiazid, furosemid), beta bloker (propanolol), vasodilatasi (hidralasin), dll.
Pada kesempatan ini akan dibahas lebih dalam mengenai obat antihipertensi diuretik. Secara umum, diuretik adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih melalui kerja langsung terhadap ginjal (Rahardja dan Tjay, 2002). Salah satu obat diuretik yang menjadi pilihan di dalam peresepan untuk hipertensi ringan sampai sedang adalah Hidroklorotiazid (HCTZ). HCTZ merupakan derivat sulfonamid golongan benzothiazine (thiazid). Ditemukan tahun 1959, dalam penelitian penghambat karbonat anhidrase (ekskresi ion natrium dan klorida di dalam kemih) yang lebih poten. Efek diuretisnya lebih ringan dari diuretika lengkungan tetapi bertahan lebih lama, 6-12 jam sehingga daya hipotensifnya lebih kuat (jangka panjang).
(Rita, 05-062)
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam makalah adalah:
Bagaimana mekanisme aksi Hidroklorotiazid di dalam tubuh dalam menimbulkan efek sebagai diuretika?
C. BATASAN MASALAH
Dalam penelitian ini penulis memberi batasan pembahasan hanya pada mekanisme aksi Hidroklorotiazid, sehingga aksi langsung dari obat diuretika yang termasuk golongan lain tidak menjadi bahasan.
D. TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme aksi Hidroklorotiazid di dalam tubuh sehingga mampu menimbulkan efek sebagai diuretik.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1. Sistem Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular terdiri dari:
a. Jantung
Pada saat berdenyut, setiap ruang jantung mengendur dan terisi darah (disebut diastol), selanjutnya jantung berkontraksi dan memompa darah keluar dari ruang jantung (disebut sistol). Kedua atrium mengendur dan berkontraksi secara bersamaan, dan kedua ventrikel juga mengendur dan berkontraksi secara bersamaan.
Darah yang kaya CO2 dari seluruh tubuh mengalir melalui vena kava menuju ke dalam atrium kanan. Setelah atrium kanan terisi darah, dia akan mendorong darah ke dalam ventrikel kanan. Darah dari ventrikel kanan akan dipompa melalui katup pulmoner ke dalam arteri pulmonalis, menuju ke paru-paru. Darah akan mengalir melalui kapiler yang mengelilingi alveolus, menyerap O2 dan melepaskan CO2 yang selanjutnya dihembuskan.
Darah yang kaya akan O2 mengalir di dalam vena pulmonalis menuju ke atrium kiri. Peredaran darah diantara bagian kanan jantung, paru-paru dan atrium kiri disebut sirkulasi pulmoner.
Darah dalam atrium kiri akan didorong ke dalam ventrikel kiri, yang selanjutnya akan memompa darah yang kaya akan O2 ini melewati katup aorta masuk ke dalam aorta. Darah kaya O2 ini disediakan untuk seluruh tubuh, kecuali paru-paru.
b. Pembuluh darah
Arteri membawa darah dari jantung dan menanggung tekanan darah yang paling tinggi. Kelenturannya membantu mempertahankan tekanan darah di antara denyut jantung. Arteri yang lebih kecil dan arteriola memiliki dinding berotot yang menyesuaikan diameternya untuk meningkatkan atau menurunkan aliran darah ke daerah tertentu.
Kapiler merupakan pembuluh darah yang halus dan berdinding sangat tipis, yang berfungsi sebagai jembatan antara arteri dan vena. Kapiler memungkinkan O2 dan zat makanan berpindah dari darah ke dalam jaringan dan memungkinkan hasil metabolisme berpindah dari jaringan ke dalam darah.
Dari kapiler, darah mengalir ke dalam venula lalu ke dalam vena, yang akan membawa darah kembali ke jantung. Vena memiliki dinding yang tipis, tetapi biasanya diameternya lebih besar daripada arteri, sehingga vena mengangkut darah dalam volume yang sama tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah dan tidak terlalu di bawah tekanan.
(Widia, 05-067)
2. Hipertensi
Hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu
a. hipertensi primer
Juga disebut hipertensi ‘esensial’ atau ‘idiopatik’ dan merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat, restensi vaskular perifer bertambah, atau keduanya. Pada hipertensi, curah jantung cenderung menurun dan resistensi perifer meningkat. Adanya hipertensi juga menyebabkan penebalan dinding arteri dan arteriol, mungkin sebagian diperantari oleh faktor yang dikenal sebagai pemicu hipertrofi vaskular dan vasokonstriksi (insulin, katekolamin, angiotensin, hormon pertumbuhan), sehingga menjadi alasan sekunder dari hipertensi yang sudah ada telah menyebabkan penelitian etiologi semakin sulit dan observasi ini terbuka untuk berbagai interpretasi.
b. hipertensi sekunder
hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan/ sebagai akibat dari adanya penyakit lain yaitu akibat penyakit jantung/ginjal, diabetes, atau tumor dari kelenjar adrenal, obat-obatan, maupun kehamilan.
(Bernadetta, 05-071)
3. Sistem Ekskresi Ginjal
Ginjal merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni keseimbangan dinamis antara cairan intra dan ekstrasel, serta pemeliharaan volume total dan susunan cairan ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari jumlah ion Na+, yang untuk sebagian besar terdapat di luar sel, di cairan antarsel, dan di plasma darah. Ginjal tersusun dari berjuta-juta nefron. Satu unit nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke dalam glomeruli, yang terletak di korteks ginjal. Dinding glomeruli inilah yang bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam-garam, dan glukosa. Ultrafiltrat, yang diperoleh dari filtrasi dan berisi banyak air serta elektrolit, akan ditampung di Kapsul Bowman dan kemudian disalurkan ke tubuli. Tubuli ini terdiri dari bagian proksimal dan distal, yang letaknya masing-masing dekat dan jauh dari glomerulus, kedua bagian ini dihubungkan oleh sebuah lengkungan (Henle’s loop). Di sini terjadi penarikan kembali secara aktif air dan komponen yang sangat penting bagi tubuh, seperti glukosa dan garam-garam, antara lain ion Na+. Zat-zat ini dikembalikan pada darah melalui kapiler yang mengelilingi tubuli. Sisanya yang merupakan perombakan metabolisme protein yang tak berguna seperti ureum dikeluarkan dari tubuh. Akhirnya, filtrat dari semua tubuli ditampung di ductus colligens, dimana terutama berlangsung reabsorbsi air. Filtrat disalurkan ke kandung kemih dan ditimbun di sini sebagai urin (Rahardja dan Tjay, 2002).
(Cory, 05-065)
4. Mekanisme Kerja Diuretik
Diuretik bermanfaat dalam pengobatan berbagai penyakit yang berhubungan dengan retensi abnormal garam dan air dalam kompartemen ekstraseluler tubuh, biasanya dirujuk sebagai edema. Pada umumnya, diuretik adalah suatu zat yang meningkatkan laju ekskresi urin oleh ginjal, terutama melalui penurunan reabsorbsi tubular ion natrium dan airnya dalam tubulus ginjal yang setara secara osmotik. Penimbunan cairan berlebih dalam kompartemen ekstraseluler dapat disebabkan oleh kegagalan jantung, sirosis hati, gangguan ginjal, toksemia kehamilan, atau akibat sampingan obat (Rahardja dan Tjay, 2002).
Obat-obat ini bekerja khusus terhadap tubuli, yakni di:
a. tubuli proksimal. Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini direabsorbsi secara aktif untuk lebih kurang 70 %, antara lain ion Na dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsorbsi berlangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap plasma. Diuretika osmotis bekerja di sini dengan merintangi reabsorbsi air dan juga natrium.
b. lengkungan Henle. Di bagian menaik Henle’s loop ini ca 25 % dari semua ion Cl- yang telah difiltrasi direabsorbsi secara aktif, disusul dengan reabsorbsi pasif dari Na+ dan K+, tetapi tanpa air, hingga filtrat menjadi hipnotis. Diuretika lengkungan terutama bekerja di sini dengan merintangi transpor Cl- dan demikian reabsorbsi Na+. Pengeluaran K+ dan air juga diperbanyak.
c. tubuli distal, di bagian pertama segmen ini, Na+ direabsorbsi secara aktif pula tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipnotis. Senyawa thiazid dan klortalidon bekerja di tempat ini dengan memperbanyak ekskresi Na+ dan Cl- sebesar 5 - 10 %. Di bagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+; proses ini dikendalikan oleh hormon anak-ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron (spironolakton) dan zat-zat penghemat kalium (amilorida, triamteren) bertitik kerja di sini dengan mengakibatkan ekskresi Na+ (kurang dari 5 %) dan retensi K+.
d. saluran pengumpul. Hormon antidiuretik ADH (vasopresin) dari hipofisis bertitik kerja di sini dengan jalan mempengaruhi permeabilitas bagi air dari sel - sel saluran ini (Rahardja dan Tjay, 2002).
Scan gambar hal.597
(Linna, 05-070)
5. Penggolongan Obat-obatan Antihipertensi
Pengobatan hipertensi secara farmakologis dapat digunakan obat-obatan antihipertensi antara lain:
• Diuretik
Obat-obatan jenis ini bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh melalui kencing sehingga volume cairan ditubuh berkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan. Contoh obat-obatan yang termasuk jenis ini adalah hidroklorotiazid.
• Beta bloker
Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Contoh obat-obatan yang termasuk didalamnya adalah : Metoprolol, Propranolol dan Atenolol.
• Penghambat simpatetik
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas saraf simpatis. Contoh obat yang termasuk dalam golongan penghambat simpatetik adalah: Metildopa, Klonidin dan Reserpin.
• Vasodilator
Obat golongan ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot pembuluh darah). Yang termasuk dalam golongan ini adalah : Prasosin, Hidralasin.
• Penghambat Angiotensin Converting Enzim (ACE)
Cara kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat Angiotensin II (zat yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah). Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah Kaptopril.
• Penghambat reseptor Angiptensin II
Cara kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat Angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah Valsartan (Diovan).
• Antagonis Kalsium
Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah : Nifedipin, Diltiasem dan Verapamil.
(Dhita, 05-069)
6. Penggolongan Obat-obatan Diuretik
a. Diuretik lengkungan : furosemid, bumetanida, dan etakrinat.
Obat - obat ini berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6 jam). Banyak digunakan pada keadaan akut, misalnya pada udema otak dan paru-paru. Memperlihatkan kurva dosis-efek curam, artinya bila dosis dinaikkan efeknya (diuresis) senantiasa bertambah.
b. Derivat thiazid: hidroklorothiazid, klortalidon, mefrusida, indapamida, xipamida (Diurexan), dan klopamida.
Efeknya lebih lemah dan lambat, juga lebih lama (6-48 jam) dan terutama digunakan pada terapi pemeliharaan hipertensi dan kelemahan jantung. Obat-obat ini memiliki kurva dosis-efek datar, artinya bila dosis optimal dinaikkan lagi, efeknya (diuresis, penurunan tekanan darah) tidak bertambah.
c. Diuretika penghemat kalium: antagonis aldosteron (spironalokton, kanrenoat), amilorida, dan triamteren.
Efek obat-obat ini hanya lemah dan khusus digunakan terkombinasi dengan diuretika lainnya guna menghemat ekskresi kalium. Aldosteron menstimulasi reabsorbsi Na dan ekskresi K; proses ini sihambat secara kompetitif (saingan) oleh antagonis aldosteron.
Amilorida dan triamteren dalam keadaan normal hanya lemah efek ekskresinya mengenai Na dan K. Tetapi, pada penggunaan diuretika lengkungan dan thiazid, yang mengekskresi kalium dengan kuat, zat-zat penghemat kalium ini menghambat ekskresi K dengan kuat pula. Mungkin juga ekskresi dari magnesium.
d. Diuretika osmotis : manitol dan sorbitol.
Obat-obat ini hanya direabsorbsi sedikit oleh tubuli, hingga reabsorbsi air juga terbatas. Efeknya adalah diuresis osmotis dengan ekskresi air tinggi dan relatif sedikit ekskresi Na. Terutama manitol, hanya jarang digunakan sebagai infus intravena untuk menurunkan cairan dan tekanan intraokuler, juga untuk menurunkan volume cairan serebrospinal dan tekanan intrakranial.
e. Perintang–karbonat hidrase : asetazolamida.
Zat ini merintangi enzim karbonat anhidrase di tubuli proksimal, sehingga di samping karbonat, juga Na dan K diekskresikan lebih banyak, bersamaan dengan air (Rahardja dan Tjay, 2002).
(Chrisye, 05-072)
7. Hidroklorotiazid
Hidroklorotiazid merupakan diuretik golongan thiazid yakni diuretik dengan potensi sedang, yang bekerja dengan cara menghambat reabsorbsi natrium pada bagian awal tubulus distal.
Struktur :
Gambar 1. Struktur Hidroklorotiazid
6-Chloro-3,4-dihydro-2H-1,2,4-benzo hiadiazine-7-sulfonamide 1,1-dioxide
BM : 297,73
pKa : 7,9 – 9,2
Hidroklorotiazid mengandung tidak kurang dari 98,0% C7H8ClN3O4S2 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian : serbuk hablur, putih atau praktis putih; praktis tidak berbau. Kelarutan : sukar larut dalam air (< 1 dalam 10.000), mudah larut dalam larutan natrium hidroksida, dalam n-butilamina, dan dalam dimetilfornamida; agak sukar larut dalam metanol; tidak larut dalam eter, dalam kloroform, dan dalam asam mineral encer.
Indikasi : edema, hipertensi
Peringatan : dapat menyebabkan hipokalemia; memperburuk diabetes dan pirai; mungkin memperburuk SLE (eritema lupus sistemik); usia lanjut; kehamilan dan menyusui; gangguan hati dan ginjal (hindarkan bila berat); porifiria.
Kontraindikasi : hipokalemia yang refaktur; hiponatremia; hiperkalsemia; gangguan ginjal dan hati yang berat; hiperurikemia yang simtomatik; penyakit addison.
Dosis : edema, dosis awal 12,5 – 25 mg sehari, untuk pemeliharaan jika mungkin kurangi; edema kuat pada pasien yang tidak mampu untuk mentoleransi diuretika berat, awalnya 75 mg sehari.
Hipertensi dosis awal 12,5 mg sehari jika perlu tingkatkan sampai 25 mg sehari.
Usia lanjut dosis awal 12,5 mg sehari mungkin cukup.
Peringatan : penghentian pemberian thiazida pada lansia tidak boleh secara mendadak, karena resiko timbulnya gejala kelemahan jantung dan peningkatan tensi.
Efek samping :
a. Hipokalemia : yakni kekurangan kalium dalam darah. Semua diuretik dengan titik kerja di bagian muka tubuli distal memperbesar ekskresi ion-K+ karena ditukarkan dengan ion Na akibatnya kadar kalium plasma dapat turun di bawah 3,5 mmol/liter. Gejala kekurangan kalium ini berupa kelemahan otot, kejang-kejang, obstipasi, anoreksia, kadang-kadang juga aritmia jantung tetapi gejala ini tidak selalu menjadi nyata. Pemakaian HCTZ hanya sedikit menurunkan kadar kalium.
b. Hiperurikemia : terjadi akibat retensi asam urat. Menurut dugaan, hal ini disebabkan oleh adanya persaingan antar diuretikum dengan asam urat mengenai transpornya di tubuli.
c. Hiperglikemia : dapat terjadi pada pasien diabetes, terutama pada dosis tinggi akibat dikuranginya metabolisme glukosa berhubung sekresi insulin ditekan.
d. Hipernatriemia : kekurangan natrium dalam darah. Gejalanya berupa gelisah, kejang otot, haus, letargi (selalu mengantuk), juga kolaps (Dollery, 1999).
(Ines, 05-061)
BAB II
PEMBAHASAN
1. Obat-obat diuretik bekerja dengan cara memblok reabsorpsi Na+ (termasuk reabsorpsi Cl- ) pada tubulus distal dengan menghambat ikatan membran luminal Na+/Cl- cotransport sistem.
Pada kondisi normal, terjadinya reabsorpsi Na+ Cl- dengan mekanisme sebagai berikut : pada tubulus distal, adanya cotransport NaCl akan memindahkan Nacl dari cairan luminal menuju ke sel tubulus distal. Cairan luminal Cl akan dipindahkan ke atas, sedangkan cairan luminal Na akan dipindahkan ke bawah oleh cotransporter tersebut. Reabsorpsi na terjadi secara lengkap ketika ikatan membran antiluminal Na K+-ATPase diaktifkan akan memompa Na memasuki ke interstitium melalui antiluminal membran. Cl yang terdapat dalam intraseluler akan berpindah ke interstitium melalui saluran yang terdapat di membran antiluminal (Block and Beale, 2004). Hidroklorotiazid akan menghambat reabsorpsi Na pada cotransporter NaCl di membran luminal. Penghambatan reabsorpsi ini akan mengurangi tekanan osmotic pada ginjal, sehingga lebih sedikit air yang direabsorpsi oleh collecting duct. Ini akan memacu peningkatan urin.
Scan gambar dari buku hal.600
(Diskusi Kelompok)
2. Penurunan Na+ di otot polos menyebabkan penurunan sekunder pada Ca2+ intraseluler sehingga otot menjadi kurang responsif. Hal ini akan menyebabkan relaksasi otot polos arterior sehingga akan menurunkan resistensi perifer yang menyebabkan penurunan tekanan darah.
(Diskusi Kelompok)
3. Menghambat enzim karbonat anhidrase sehingga mengalami ekskresi bikarbonat dari cairan tubuler
Gambar 2. Struktur karbonat anhidrase
Karbonat anhidrase adalah enzim yang berada dalam epitel tubulus ginjal dan sel darah merah. Enzim ini mengkatalisis reaksi yang nampaknya sederhana yang akan bergeser jauh ke kiri bila tanpa enzim: 2H2O + CO2 ↔ H2CO3 ↔ HCO3- + H3O+. Dalam ginjal, proton pada H3O+ ditukar dengan ion Na+ yang akan diserap kembali. Karena itu, karbonat anhidrase berperan sangat penting dalam menjaga keseimbangan ion dan air antar jaringan dan kemih. Bila zat penghambat karbonat anhidrase menghalangi enzim tersebut di dalam ginjal, maka ion Na+ dalam filtrat tidak dapat dipertukarkan, Na+ diekskresikan berama-sama air sebagai akibat hidrasi ion dan efek osmosis.
Hidroklorotiazid mempunyai mekanisme aksi pada penghambatan kerja enzim karbonat anhidrase. Adanya enzim karbonat anhidrase pada sel tubulus akan mempermudah pembentukan ion bikarbonat. Sisi aktif dari enzim ini adalah terdapat pada ion Zn2+. Ion ini akan berinteraksi dengan 2 sisi O yang ada dalam ion bikarbonat.
Gambar 3. Mekanisme interaksi sisi aktif karbonat anhidrase dengan bikarbonat
Pada hidroklorotiazid, interaksi yang terjadi adalah pada sisi aktif enzim karbonat anhidrase yaitu pada Zn2+. Pada hidroklorotiazid terdapat atom Cl yang merupakan golongan halogen dimana golongan ini memiliki elektronegativitas yang besar dibandingkan unsur golongan lain. Dengan kondisi bahwa Zn2+ memiliki kecenderungan elektropositif yang besar maka Zn2+ akan lebih memillih terikat dengan Cl daripada dengan O. Unsur O pada golongan VIA yang relatif kurang elektronegatif dibanding dengan Cl. Kemudian Zn2+ juga akan terikat pada O yang berikatan rangkap dengan S secara koordinasi. Dengan demikian Zn2+ akan membentuk kelat 5 ikatan.
Gambar 4. Interaksi karbonat anhidrase dengan Hidroklorotiazid
A. B.
Gambar 5. interaksi pada sisi reaktif hipoptetikal pada karbonat anhidrase
Ketika enzim karbonat anhidrase lebih beraktivitas pada hidroklorotiazid, maka ion bikarbonat yang terbentuk akan berkurang. Padahal ion ini yang akan berhubungan dengan keberadaan Na+ dalam tubulus, dan lebih jauh lagi akan cenderung bersifat menarik air. Saat keberadaan Na+ berkurang di dalam tubuh maka air akan banyak dikeluarkan lewat urin.
Adanya benzen akan menstabilkan molekul. Dengan ikatan kovalen koordinasi Zn2+ pada O ikatan rangkap, maka S juga akan dipengaruhi, maka benzena akan melakukan resonansi untuk kestabilan molekul itu sendiri. Dilihat dari strukturnya yang nonpolar, hidroklorotiazid akan lebih larut dalam lipid dan kurang larut air sehingga bisa bekerja dengan lebih baik pada sel-sel tubulus distal.
(Diskusi Kelompok)
Gambar 6. Antaraksi Kimia yang Normal dalam Tubulus Ginjal
Jaringan sel tubulus ginjal filtrat glomerolus
H2O + CO2 karbonat anhidrase H2CO3 HCO3- + H3O+ H3O+ + HCO3- H2CO3 CO2 + H2O
Na+ Na+, HCO3-
Urin
Gambar 7. Antaraksi Kimia dalam Tubulus Ginjal Setelah Penghambatan Karbonat Anhidrase
Jaringan sel tubulus ginjal filtrat glomerolus
H2O + CO2 karbonat anhidrase H2CO3 HCO3- + H3O+ HCO3-
Na+
Penghambat Urin
(Na+, HCO3-, H2O)
BAB III
KESIMPULAN
Hidroklorotiazid bekerja sebagai diuretik dengan mekanisme:
• Menghambat co-transporter Na+ / Cl
• Vasodilator
• Menghambat enzim karbonat anhidrase
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000, IONI 2000, 71, Depkes RI, Jakarta
Block, J.H. and Beale J.M., 2004, Textbook of Organic Medicinal and
Pharmaceutical Chemistry, 11th Edition, 604-608, Lippincott Williams
and Wilkins, Philadhelphia
Dollary, C., dkk., 1999, Therapeutic Drugs, 52-56, Churchill Livingstone, Toronto
Foye, William O., 1995, Prinsip-prinsip Kimia Medisinal, Edisi II, 865-867, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Gray, H.H., dkk., 2002, Kardiologi, Edisi IV, 57-64, Erlangga, Jakarta
Lacy, F.C., et all., 2003, Drug Information Handbook, 11th edition, 691-693, Lexi-Comp. Inc., USA
Neal, M.J., 2005, At a Glance Farmakologi Medis, Edisi V, 37, Erlangga, Jakarta
Nogrady, T., 1992, Kimia Medisinal: Pendekatan Secara Biokimia, 466-469, Penerbit ITB, Bandung
Rahardja, K., dan Tjay, T.H., 2002, Obat-obat Penting, Edisi V, PT. Alex Media Komputindo, Jakarta
Skach, W., et all., 1996, Penuntun Terapi Medis (Handbook of Medical Treatment), 196-201, Alih bahasa: Indraty Secilia, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Vander, dkk., 2001, Human physiology: The Mechanism of Body Function, 8th Edition, 549, Mc Graw-Hill Companies, Inc., Singapore